Minggu, 10 Desember 2017

Milan yang Dungu dan Fansnya yang Lugu


Di Italia, AC Milan adalah klub raksasa. Bersama Juventus dan Inter Milan, mereka bergantian menguasai Serie A. Namun, apa yang ditunjukkan beberapa tahun ke belakang tentu tidak mencerminkan Milan yang sebenarnya. Dengan Inter yang juga kehilangan arah, dua sekota ini terlempar dari persaingan, tidak hanya tiga besar, tapi juga pentas Eropa.

Baik Milan dan Inter seakan bernasib sama dengan klub-klub Indonesia yang kolaps secara prestasi ketika dana APBD dicabut untuk kegiatan sepak bola. Ya, keduanya tidak bisa berbuat banyak ketika tim dililit hutang yang berimbas pada kekuatan pemain yang dimiliki.

Salah satu cara yang dianggap ampuh adalah mendatangkan investor baru untuk memulihkan keuangan tim. Dan keduanya lagi-lagi kompak dalam hal ini. Inter mendahului sang tetangga ketika mendapuk Suning Grup sebagai pemilik klub. Sedangkan I Rossoneri baru beberapa bulan ini dikendalikan oleh Yonghong Li, yang katanya pengusaha tajir Tiongkok.

Namun, di sinilah perbedaan mereka. Milan langsung menggebrak dengan limpahan 12 pemain baru, hanya di musim ini saja. Sedangkan Suning masih dipusingkan dengan keseimbangan neraca keuangan klub sehingga harus berpikir sekian kali untuk menghamburkan uang 200 juta Euro. Bahkan jika digabung dengan dana transfer musim lalu, Suning belum melampaui uang yang dikeluarkan kompatriotnya itu di Milanello musim ini.

I Rossoneri sejatinya sudah berada pada trek yang benar musim lalu. Bersama Vincenzo Montella, mereka kembali menapaki kompetisi Eropa, meskipun hanya sekelas Liga Europa. Setidaknya, prestasi ini lebih baik dari Inter yang lagi-lagi tak tersentuh kompetisi regional.

Dengan pemain yang masih apa adanya, Montella berhasil membuat Milan bermain konsisten sepanjang musim. Bahkan ia suskses menaklukkan Juventus musim lalu. Tapi entah kenapa tuah tersebut tidak berbekas musim ini. Padahal, legenda AS Roma tersebut punya modal lebih bagus nan mumpuni.

Sedangkan Inter, dengan jumlah pemain yang didatangkan musim ini yang hanya setengahnya dari Milan, mereka mampu bertengger di puncak klasemen. Bahkan, sepanjang musim 2017-2018, Skuat Luciano Spalletti belum tersentuh kekalahan. 

gambar dibikinin @andhikamppp
Performa Suso dkk justru limbung musim 2017-2018. Euforia tifosi pun hanya sebatas laga pertama di kualifikasi Liga Europa ketika membenamkan klub asal Makedonia, Shkendija, 6-0, dan tim-tim semenjana lainnya. Itu pun di awal musim. Setelahnya, Milan secara bergantian dilumat oleh klub  Serie A, seperti Lazio, AS Roma, Sampdoria, Inter, dan Napoli.

Rentetan kekalahan dan hasil imbang membuat posisi Montella di ujung tanduk. Hingga akhirnya skor 0- 0 kontra Torino membuat ia harus melepas jabatannya dua hari setelah pertandingan. Menariknya, keputusan itu hanya berselang sehari setelah Massimiliano Mirabelli mengatakan Milan sudah berada di jalur yang tepat bersama eks pelatih Fiorentina tersebut.

Tifosi kemudian gembira mendengar kabar pemecatan itu. Mereka yang tadinya enggan menyaksikan klub kesayangan bertanding selama Montella masih memegang kendali, mulai berani begadang lagi demi melihat 12 pemain baru berlari di lapangan. Namun, di sinilah klub pujaannya mengulang kesalahan yang sama ketika menunjuk Gennaro Gattuso.

Ketika memberhentikan Massimiliano Allegri beberapa musim lalu, Adriano Galliani mengumpulkan legenda klub yang sudah pensiun untuk memulai legacy baru di San Siro. Mulai dari Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, hingga…Christian Brocchi untuk menjadi juru taktik klub pemilik 7 gelar Liga Champions tersebut.

Hasilnya? Tidak hanya nihil, tapi mubazir. Tiga legenda satu generasi itu hanya berkarier singkat dan kian memperkuat status Milan sebagai klub medioker. Masalah keuangan mungkin alasan yang tepat bagi klub untuk mengontrak para debutan itu. Jangankan pelatih, pemain yang didatangkan pun mayoritas hanya berstatus bebas transfer, alias gratis.

Ingin memutus hal tersebut, Galliani memanggil allenatore yang sedang naik daun bersama Sampdoria ketika itu, Sinisa Mihajlovic. Perlu diketahui, penunjukkan ini menyakitkan hati saya sebagai fans pemain yang pernah mencetak hat-trick lewat tendangan bebas itu. Tapi keberadaan Miha nyatanya tidak membuat klub semakin baik. Ia tercatat hanya sukses memproklamirkan Gianluigi Donnarumma dan Alessio Romagnoli sebagai bintang masa depan Il Diavolo Rosso.

Pria Serbia akhirnya diganti oleh Montella, yang juga pernah melatih Sampdoria. Sempat menanjak dengan pemain seadanya di musim pertama, peraih scudetto bersama Roma ketika masih menjadi pemain ini tak berkutik ketika dihadiahi skuat baru sehingga tim diambil alih oleh Rhino yang sebelumnya menjadi Indra Sjafri-nya Milan di U-19.


Satu hal yang diingat banyak orang ketika mendengar nama Gattuso tentu saja sikapnya yang suka berapi-api di lapangan ketika masih aktif bermain – alih-alih prestasi selama menjadi pelatih. Bagaimana tidak, empat tim antah berantah yang ia latih hanya membuat cv-nya jelek.

Menukangi FC Sion, Palermo, Pisa, dan OFI Crete, pria 39 tahun itu tidak pernah menyelesaikan kontraknya. Kariernya selalu berujung pada pemecatan. Menilik pada catatan tersebut, Milan bukan saja mencoba bunuh diri, tapi juga mencari mati, mengingat peran pelatih sangat vital dalam sebuah tim.


Jika manajemen ingin melestarikan para legenda, kenapa mereka tidak memanggil pulang Inzaghi, yang kini sukses membawa Venezia promosi ke Serie B saja? Atau Massimo Oddo, yang meski belum berprestasi tapi karier manajerialnya lebih mumpuni dari pelatih yang semasa bermain dijuluki Hariono-nya Milan tersebut.

Kiprah Gattuso dengan status barunya ini pun mulai bisa ditebak. Ia gagal menang melawan Benevento di laga debut. Untuk diketahui, Benevento adalah satu-satunya tim di lima liga top Eropa yang belum meraih satu poin pun. Heroiknya, poin pertama mereka raih ketika kiper Alberto Brignoli membobol gawang Donnarumma di menit 95 hingga membuat Gattuso tidak bisa tidur setelahnya.

Tidak puas imbang dengan Benevento, Milan kemudian ditaklukkan Rijeka 0-2 di Liga Europa. Mungkin kekalahan ini masih bisa dimaklumi karena dua hal. Pertama, I Rossoneri sudah memastikan lolos ke babak berikutnya. Kedua, pemain yang diturunkan adalah pemain lapis kedua. Oke, klasik. Tapi ya terima saja, toh ada waktunya kita beralasan demikian.

“Performa tim di lapangan adalah tanggung jawab saya sebagai pelatih. Pelatih akan selalu menjadi orang terdepan yang disalahkan pada performa klubnya dan akan selalu begitu,” kurang lebih seperti itulah kata Montella sesaat dirinya dipecat. Dan memang benar, kegagalan sebuah tim adalah kesalahan mutlak juru taktik. Itu sudah menjadi hukum di sepak bola dan tidak bisa dibantah lagi.

Tapi hal lain yang dilupakan Milanisti adalah keberadaan Marco Fassone di belakang layar. Selain mengulang kesalahan dalam menentukan pelatih, klub yang berdiri pada 1899 lampau ini juga mengulang kesalahan Inter saat mempekerjakan pria yang sekilas mirip Lee Mason tersebut. Iya, wasit yang larinya lebih cepat dari Jesse Lingard itu.

Fassone adalah orang di balik transfer-transfer Inter di pada medio 2012 hingga 2015. Saya tidak perlu menyebutkan siapa saja pemain yang ia datangkan ke Appiano Gentile ketika itu. Kalian cukup lihat I Nerazzuri di tabel klasemen saja. Kini dengan kekuatan uang yang dimiliki Milan, kepekaan Fassone terhadap kebutuhan tim tidak juga membaik.

Leonardo Bonucci kini jadi pesakitan di Milan. Ingat gol pemain Austria Wien di San Siro pertengahan November lalu? Atau bagaimana Andre Silva yang tokcer di Timnas Portugal justru belum mencetak satu gol pun di Serie A. Malah hanya seorang Fabio Borini yang mampu tampil konsisten sepanjang musim ini. Oke, maaf.

Jadi, fans Milan tidak perlu lah senang dengan pemecatan Montella dan bangga pada penunjukkan Gattuso. Trofi Liga Champions dan scudetto saat menjadi pemain bukan jadi jaminan saat jadi pelatih. Diego Maradona yang didapuk sebagai tuhan oleh publik Argentina saat masih bermain saja kembali jadi manusia biasa ketika menangani Albiceleste.

Kalau pun keluguan kalian masih berpegang teguh dengan capaian seperti itu, tidak perlu Gattuso yang turun gunung, cukup Valerio Fiori saja. Selain sama-sama setia bersama I Rossoneri, torehan trofinya juga mentereng di Milan. Dan yang pasti pria yang sudah pensiun sejak 2008 silam ini tidak pernah terpeleset.

Tapi, setidaknya Gattuso sudah menunjukkan kemajuan ketika mengalahkan Bologna 2-1 pada giornata ke-16. Ia membawa timnya menang disaat Inter, Juventus, Napoli, dan AS Roma imbang. Serta tentu saja ketika tribun San Siro lebih sepi dari sebelumnya. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar