Jumat, 17 November 2017

Diego Costa dan Cinta yang Belum Usai

Nama Diego Costa sudah kadung memiliki kesan buruk bagi seluruh pecinta sepak bola Inggris, termasuk pendukung Chelsea dan saya tentu saja (yang bukan fan Chelsea). Sampai saat ini, sulit rasanya jika kita tidak berpikir negatif tentang perangainya, baik di dalam maupun luar lapangan.

Di dalam lapangan, sudah tidak terhitung jumlah musuh Costa yang tersebar diseantero tim-tim Inggris, Spanyol, dan tentu saja kompatriotnya dari Brasil. Sedangkan di luar sepak bola, banyak orang yang kesal (terutama tetangga) ketika ia tengah asyik berfantasi pada seperempat malam dengan video kualitas 720p selama beberapa menit di kediamannya.

Terkadang saya masih begitu kesal jika mengingat kelakuannya saat Chelsea menghadapi Liverpool beberapa musim lalu. Banyak yang percaya Costa dengan sengaja menginjak Emre Can dan nyaris baku pukul dengan Jordan Henderson juga Martin Skrtel di Stamford Bridge. Tapi ya sudahlah, itu sudah berlalu dan ia tidak melanjutkan perbuatan hina itu di pertemuan kedua klub selanjutnya.
zimbio.com


Beberapa sifat buruk Costa nyatanya tak bisa diterima Antonio Conte di Chelsea. Pelatih asal Italia itu bahkan berani mengeluarkannya dari tim, sekalipun dia adalah faktor vital keberhasilan The Blues menggondol trofi Liga Inggris musim lalu. Costa murka, begitupula sang manajer. Keduanya sama-sama mempertahankan keyakinannya untuk menolak minta maaf.

Pada akhirnya, pemain naturalisasi Spanyol itu pun kabur ke kampung halamannya di Brasil. Menenangkan diri, menunggu Chelsea ikhlas menjualnya ke tim lain. Namun, hal itu tidak mudah ia dapatkan lantaran permintaan mutlaknya yang cukup berat untuk dikabulkan. Bukan. Ia tidak menuntut gaji menjulang pada klub peminat atau fasilitas wahid sebagai syarat dirinya bersedia hengkang. Costa hanya ingin pulang ke Atletico Madrid.

Atletico bukanlah tim pertamanya di Eropa. Ia sempat singgah di Portugal sebelum benar-benar merapat ke klub ibu kota Spanyol itu. Di sana pun dirinya tidak serta merta menjadi penghuni tetap tim utama. Costa bahkan harus empat kali disekolahkan ke klub semenjana, semisal Celta Vigo, Albacete, Real Valladolid, dan tim sekota kelas tiga, Rayo Vallecano.

2007 menginjakkan kaki di Vicente Calderon - kandang Atletico - baru di tahun 2012 namanya lalu-lalang di skuat utama Merah Putih (bukan Indonesia). Namun, pembelajaran itulah yang membuat Costa selalu ingin pulang ke Madrid. Dia tidak kehilangan satu apa pun bersama Chelsea. Gelar top skorer, trofi Liga Inggris, dan gaji melimpah sudah ia rasakan di sana. Tapi ia sadar hanya Atletico tempat impiannya.

Klub yang dilatih legenda Argentina, Diego Simeone, awalnya tidak bisa berbuat banyak karena embargo transfer yang tengah mereka hadapi. Tapi Costa tidak patah arang. Klub kaya baru, AC Milan, coba melihat kesempatan untuk melegonya, sama halnya tim raksasa Turki, fenerbahce, yang bersedia hanya disinggahi Costa selama enam bulan sampai hukuman FIFA kepada Atletico selesai. Namun, ia bergeming.

Costa bukanlah Neymar yang rela diperdagangkan oleh ayahnya. Ia juga bukan Wayne Rooney yang menunggu uzur dan tidak terpakai lagi baru bersedia pulang ke Everton. Costa adalah.....Costa. Pemain bengal berupa tua yang menyimpan cinta untuk satu tim yang menjadi tonggak sejarah kariernya. 

Atletico yang sempat berpikir dua kali memulangkannya akhirnya luluh pada permohonan Costa. Mereka resmi mendatangkan kembali pemain kelahiran Brasil itu September lalu, dengan catatan, Ia baru boleh dimainkan Januari 2018, setelah banned FIFA berakhir. 

Pemain 27 tahun yang tadinya asyik bersantai di Brasil, buru-buru terbang ke Madrid setelah mendengar Chelsea dan Atletico menyetujui kepindahannya. Ia pun menjadi pemain termahal Los Rojiblancos dengan bandrol 50 juta Euro, lebih mahal 15 juta euro ketika Chelsea mendatangkannya dari Atletico 2014 lalu.

Kegalauan Costa sejak Juli lalu pun berakhir klimaks setelah ia akhirnya pulang ke rumah keduanya. Kendati harus sabar menunggu sampai tahun depan, itu tidak masalah. Seperti yang ia katakan, "Saya hanya ingin pulang ke Atletico dan akan menunggu hingga mereka membawa saya,".

Di balik itu semua, ia tetap saja dicaci karena lebih memilih Spanyol sebagai negara yang ia bela, bukan Brasil yang notabene adalah tumpah darahnya. Tapi, lagi-lagi Costa punya alasan cukup kuat berbaju La Furia Roja (julukan Spanyol). Seperti yang diungkapkan beberapa tahun lalu, ia berhutang budi pada Spanyol. Tidak hanya di karier sepak bola, tetapi juga kehidupan sosialnya.

Membela Spanyol bukan berarti dia lupa dengan Brasil. Seperti yag disampaikan di atas, konflik yang dihadapi di Chelsea membuat dirinya pulang ke Lagarto, sebuah kota kecil di Brasil, bukan ke Madrid. Kehidupan sepak bola-nya memang ada di Spanyol, tapi di luar itu, ia adalah seorang anak yang selalu rindu asal usulnya.

Saat ini, Diego da Silva Costa baru saja menuntaskan rasa cintanya yang belum usai di Atletico setelah beberapa tahun berpetualang ke London Barat. Dan setelah ini, jika boleh saya menduga, ia akan menyempurnakan hal yang sama di Brasil nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar