Jumat, 02 Desember 2016

Memanusiakan Manusia Lewat Sepak Bola

Di sebuah ruangan saya tertegun, merasa hampa di tengah keramaian, tertunduk lesu di samping kolega yang saling bercengkrama. Mata saya, hati saya, pikiran saya, tertuju lurus ke headline berita yang muncul di lini masa.

Keesokan harinya, hati saya makin lirih saat melihat foto seorang anak yang duduk hingga tertunduk di antara tribun penonton yang tak berpenghuni, seolah ia tak sanggup melihat masa depan dan tak ingin melihat ke belakang. Sejenak namun penuh khitmat ia memanjat doa untuk mereka yang baru saja tiada, memupuk kembali harapan yang sempat sirna lewat memori indah dari para pahlawannya.
bola.net
Chapecoense, club Serie A Brazil yang setahun belakangan menjadi buah bibir di dataran Amerika Latin karena keberhasilan mereka menembus final Copa Sudamericana menjadi inti cerita. Tidak ada yang menyangka (termasuk mereka yang ada di sana) bahwa malam itu adalah terakhir kali mereka melihat dunia.
Gelar yang mereka idamkan sejak lama, yang sudah di depan mata, tak pernah benar-benar menghiasi lemari Stadion Arena Conda, yang pada akhirnya, gelar tersebut turut serta mereka bawa ke surga, bersama 71 nyawa yang juga terbang ke sana.

Ini tentu bukan kejadian pertama di dunia sepak bola. Jauh sebelum kecelakaan pesawat menimpa skuat Chapecoense, Manchester United dan Torino sudah lebih dulu merasakan betapa pilunya tragedi serupa. Dengan korban nyawa yang tak terkira.

4 Mei 1949, menjadi hari yang tak pernah bisa dilupakan seisi penduduk kota Turin. Torino, club besar Italia (ketika itu) memulai cerita getir tersebut. Peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Superga ini menewaskan seluruh awak pesawat, tak terkecuali punggawa Torino, yang saat itu dihuni pemain-pemain bintang. Lebih pahit, peristiwa nahas ini sekaligus memutus rantai sebuah generasi emas di masanya.

Lawatan Torino ke Lisbon, Portugal, untuk memenuhi undangan pemain Benfica, Francisco Jose Ferreira yang hendak gantung sepatu berbuah petaka. Kepulangan mereka ke Turin tak direstui semesta. Badai besar datang, menghantam pesawat hingga ke perosok bukit Superga, yang kemudian melenyapkan semua kebahagiaan mereka, nyawa mereka, hingga tak tersisa.

Italia berduka, bukan hanya karena kehilangan generasi emasnya, tapi kehilangan orang-orang yang tak berdosa, orang-orang yang mereka cinta. Torino, tanpa para bintangnya seolah enggan melanjutkan liga, karena hanya menyisakan para pemain belia. Hingga pada akhirnya, pertolongan datang dari seluruh belahan Italia. Salah satunya, Inter Milan yang turut serta membantu dan memberikan Scudeto Serie A nya untuk Il Toro.

Sandro Mazzola, yang ayahnya menjadi korban Superga (Valentino Mazzola) sekejap jatuh hati pada Internazionale, dan ingin membalas jasa club asal Milan tersebut dengan memperkuat tim dan mempersembahkan banyak gelar bergengsi, yang kemudian menjadikannya legenda hidup Nerrazzuri.

Sejarah kelam itu pun berlanjut. Tepat di Bandara Munich, Jerman Barat (saat itu Jerman masih terbagi 2 bagian), menjadi hari paling kelabu bagi sepak bola Inggris. Manchester United, club besar Britania raya menambah kelam cerita dari dunia sepak bola. Hampir serupa dengan apa yang terjadi pada Torino, pesawat yang ditumpangi “The Busby Babes” gagal lepas landas. Landasan pacu yang sudah tertutup salju harus memaksa pesawat kembali jatuh dan menewaskan sebagian pemain United.

Menyisakan pemain seadanya, termasuk Sir Bobby Charlton yang selamat dari peristiwa, United kembali melanjutkan hidup di belantara sepak bola Inggris. Alhasil, mereka tak dapat berbuat banyak, dan terkatung-katung beberapa musim di klasemen. Tawaran Liverpool untuk meminjamkan beberapa pemainnya juga tak serta merta memperbaiki posisi “Setan Merah”. Selayaknya Torino yang kehilangan generasi emasnya, Manchester merah kembali dari titik nol untuk menjadi club tersukses Inggris hingga saat ini.

Seperti Torino dan Manchester United, dunia kembali berkabung untuk Chapecoense yang tengah menggoreskan tinta emas di kancah Conmebol. Mengingat, club yang berdiri pada 1975 itu baru promosi ke kasta tertinggi liga Brazil pada 2014 lalu. Tidak hanya Brazil, seisi dunia menangis mendengar kabar yang tak pernah kita inginkan itu.

Pasca tragedi, pemerintah Brazil menetapkan hari berkabung nasional selama 3 hari, otoritas liga pun menghentikan semua pertandingan di semua tingkat kompetisi untuk mendoakan mereka yang tak pernah kembali, kompetisi di belahan benua lain menunduk sejenak, silent of minute diheningkan khusus untuk saudara seperjuangannya.

Stadion Arena Conda bergemuruh pilu dua hari setelahnya, puluhan ribu orang memadati kandang Chapecoense untuk memberi penghormatan terakhir. Warna hijau (warna kebesaran club) menyatu bersama puluhan ribu gugusan cahaya yang dipancarkan seisi stadion, tangisan puluhan ribu orang pun pecah ketika layar raksasa memperlihatkan wajah-wajah pahlawan mereka yang sekarang sudah di surga.

Di Kolombia sendiri, tepatnya di kandang Atletico Nacional, tempat di mana semestinya Chapecoense berada, doa juga dipanjatkan oleh seluruh fans Atletico. Tak satu pun fans tuan rumah yang batal hadir setelah kejadian. Mereka justru berbondong-bondong, serempak mengenakan pakaian putih untuk mengiringi calon lawannya (yang tak pernah tiba) ke tempat peristirahatan terakhir. Tak sampai di situ, club papan atas Kolombia tersebut memohon kepada Conmebol agar trofi juara Sudamericana diberikan kepada Chapecoense.
bola.okezone.com
Dengan segala kerendahan hati, sepak bola lagi-lagi mengajarkan kita apa itu kehidupan dari titik paling dasar. Club-club besar Brazil seperti Palmeiras, Corinthians, Santos mengajukan para pemainnya untuk memperkuat Chapecoense secara cuma-cuma. Bahkan, club asal Paraguay, Libertad, juga melakukan hal yang sama. Tujuannya jelas, agar Chape tetap hidup, agar para fansnya tidak kehilangan harapan, agar generasi yang sudah tertulis tidak hilang begitu saja. Tak sampai di situ, seluruh club di Brazil juga memohon kepada CBF (federasi sepak bola Brazil) agar Chape tidak di degradasi, setidaknya hingga tiga tahun mendatang.

Sekali lagi, sisi humanis sepak bola kembali tampak jelas dari semua insannya. Kita tentu masih ingat petaka yang menghampiri Alberto Morossini yang meregang nyawa di tengah lapangan. Ketika pemain Livorno tersebut tak mampu bangkit setelah beberapa kali jatuh akibat serangan jantung. Italia berkabung, seluruh kegiatan liga, baik Serie A hingga liga Pro dihentikan selama dua minggu lamanya untuk mengenang kepergian pemain pinjaman Udinese terebut. Tak hanya itu, Udinese sebagai club pemilik Morossini pun berjanji akan membiayai kehidupan seluruh keluarga yang ia tinggalkan, sebagai penghormatan terakhir padanya.

Atau bagaimana perhatian fans Aston Villa yang tak pernah pudar pada mantan kapten mereka, Stiliyan Petrov yang harus gantung sepatu lebih awal akibat penyakit Leukemia akut yang ia derita. Pemain berdarah Bulgaria tersebut dilarang bermain sepak bola setelah di diagnosis dokter bahwa penyakitnya dapat membahayakan nyawa sang kapten jika tetap bermain bola. Fans pun tak henti-hentinya memberi dukungan untuk kapten pujaan mereka.

Tak tanggung-tanggung, setiap pertandingan Aston Villa berlangsung di kandang, fans selalu berdiri dan bertepuk tangan tepat di menit ke 19 (19 adalah nomor punggung Petrov di Villa) sebagai bentuk dukungan agar Petrov kuat menghadapi penyakit yang ia derita. Hingga pada akhirnya, angka 19 pun di pensiunkan The Villans untuk menghormati jasa mantan pemain CSKA Sofia tersebut.

Sebagai club yang sebelum kejadian namanya begitu asing di telinga kita, tentu Chapecoense akan terus menelurkan cerita-cerita inspirasi bagi kita semua, tidak hanya mereka, tapi seluruh insan sepak bola yang akan turut serta menyempurnakan harapan para pemuja yang telah ditinggal pahlawannya. Seperti Ronaldinho Gaucho dan Juan Roman Riquelme yang sukarela turun gunung untuk kembali menyinari cahaya seisi Arena Conda.

Sepak bola, sebesar apapun kebencian kita padanya, nyatanya kita tidak bisa mendustakan diri bahwa ia banyak mengajarkan kita bagaimana memperlakukan manusia lewat cerita getir tak terkira. Tak peduli asal negara, antara siapa dan siapa, atau siapa dan untuk apa. Atas namanya, sepak bola tak hanya menjalani sebuah kehidupan, tetapi juga menghidupi kehidupan. Lewat sepak bola pula, kita bisa memanusiakan manusia (lainnya).




8 komentar:

  1. Kerenn uy... Speechless tapi keren tulisannya

    BalasHapus
  2. keren bang, ini tulisan layak bgt buat dilampirkan ke fandom atau pandit, ya minimal detiksport :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahah makasih bung fan. Masih belom berani nyetor. Heheh

      Hapus
  3. Speechless... Tulisannya bagus banget, Mas. Rasanya hanyut kebawa sedih membacanya

    BalasHapus
  4. Makasih mba dian. Aku pun rada ga kuat sih nulisnya, karena emang kebawa emotional :)

    BalasHapus
  5. Tulisannya bagus banget, Bang Syafii. Bikin terenyuh, pula.

    Wadaw, baru pertama main ke sini udah asik aja. Mau coba cek postingan lainnya ah. Kelihatannya banyak artikel soal bola nih. Asoy markosoy.

    Oiya, Kalau gak salah, sewaktu tragedi itu, Torino lagi jaya-jayanya kan ya? Sempet baca, di era dulu, justru Torino yang dianggap raksasa kota Turin, bukan Juventus.

    BalasHapus
  6. Wah makasih Kak son udah berkunjung balik. Hehehe

    Iya jaman itu torino lebih besar drpd juve. Hehe

    Siap Kak. Semoga tulisan saya nggak mengecewakan. Hehehe

    BalasHapus