Di sebuah ruangan saya
tertegun, merasa hampa di tengah keramaian, tertunduk lesu di samping kolega
yang saling bercengkrama. Mata saya, hati saya, pikiran saya, tertuju lurus ke headline
berita yang muncul di lini masa.
Keesokan harinya, hati saya
makin lirih saat melihat foto seorang anak yang duduk hingga tertunduk di
antara tribun penonton yang tak berpenghuni, seolah ia tak sanggup melihat masa
depan dan tak ingin melihat ke belakang. Sejenak namun penuh khitmat ia
memanjat doa untuk mereka yang baru saja tiada, memupuk kembali harapan yang
sempat sirna lewat memori indah dari para pahlawannya.
bola.net |
Chapecoense, club Serie A
Brazil yang setahun belakangan menjadi buah bibir di dataran Amerika Latin
karena keberhasilan mereka menembus final Copa Sudamericana menjadi inti cerita.
Tidak ada yang menyangka (termasuk mereka yang ada di sana) bahwa malam itu
adalah terakhir kali mereka melihat dunia.
Gelar yang mereka idamkan
sejak lama, yang sudah di depan mata, tak pernah benar-benar menghiasi lemari
Stadion Arena Conda, yang pada akhirnya, gelar tersebut turut serta mereka bawa
ke surga, bersama 71 nyawa yang juga terbang ke sana.
Ini tentu bukan kejadian pertama di dunia sepak
bola. Jauh sebelum kecelakaan pesawat menimpa skuat Chapecoense, Manchester
United dan Torino sudah lebih dulu merasakan betapa pilunya tragedi serupa.
Dengan korban nyawa yang tak terkira.
4 Mei 1949, menjadi hari yang tak pernah bisa
dilupakan seisi penduduk kota Turin. Torino, club besar Italia (ketika itu)
memulai cerita getir tersebut. Peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Superga
ini menewaskan seluruh awak pesawat, tak terkecuali punggawa Torino, yang saat
itu dihuni pemain-pemain bintang. Lebih pahit, peristiwa nahas ini sekaligus
memutus rantai sebuah generasi emas di masanya.
Lawatan Torino ke Lisbon, Portugal, untuk
memenuhi undangan pemain Benfica, Francisco Jose Ferreira yang hendak gantung
sepatu berbuah petaka. Kepulangan mereka ke Turin tak direstui semesta. Badai
besar datang, menghantam pesawat hingga ke perosok bukit Superga, yang kemudian
melenyapkan semua kebahagiaan mereka, nyawa mereka, hingga tak tersisa.
Italia berduka, bukan hanya karena kehilangan
generasi emasnya, tapi kehilangan orang-orang yang tak berdosa, orang-orang
yang mereka cinta. Torino, tanpa para bintangnya seolah enggan melanjutkan
liga, karena hanya menyisakan para pemain belia. Hingga pada akhirnya,
pertolongan datang dari seluruh belahan Italia. Salah satunya, Inter Milan yang
turut serta membantu dan memberikan Scudeto Serie A nya untuk Il Toro.
Sandro Mazzola, yang ayahnya menjadi korban
Superga (Valentino Mazzola) sekejap jatuh hati pada Internazionale, dan ingin
membalas jasa club asal Milan tersebut dengan memperkuat tim dan
mempersembahkan banyak gelar bergengsi, yang kemudian menjadikannya legenda
hidup Nerrazzuri.
Sejarah kelam itu pun berlanjut. Tepat di
Bandara Munich, Jerman Barat (saat itu Jerman masih terbagi 2 bagian), menjadi
hari paling kelabu bagi sepak bola Inggris. Manchester United, club besar
Britania raya menambah kelam cerita dari dunia sepak bola. Hampir serupa dengan
apa yang terjadi pada Torino, pesawat yang ditumpangi “The Busby Babes” gagal
lepas landas. Landasan pacu yang sudah tertutup salju harus memaksa
pesawat kembali jatuh dan menewaskan sebagian pemain United.
Menyisakan pemain seadanya,
termasuk Sir Bobby Charlton yang selamat dari peristiwa, United kembali
melanjutkan hidup di belantara sepak bola Inggris. Alhasil, mereka tak dapat
berbuat banyak, dan terkatung-katung beberapa musim di klasemen. Tawaran
Liverpool untuk meminjamkan beberapa pemainnya juga tak serta merta memperbaiki
posisi “Setan Merah”. Selayaknya Torino yang kehilangan generasi emasnya, Manchester merah kembali
dari titik nol untuk menjadi club tersukses Inggris hingga saat ini.
Seperti Torino dan
Manchester United, dunia kembali berkabung untuk Chapecoense yang tengah
menggoreskan tinta emas di kancah Conmebol. Mengingat, club yang berdiri pada 1975 itu baru promosi ke kasta tertinggi
liga Brazil pada 2014 lalu. Tidak hanya Brazil, seisi dunia menangis mendengar
kabar yang tak pernah kita inginkan itu.
Pasca tragedi, pemerintah
Brazil menetapkan hari berkabung nasional selama 3 hari, otoritas liga pun
menghentikan semua pertandingan di semua tingkat kompetisi untuk mendoakan
mereka yang tak pernah kembali, kompetisi di belahan benua lain menunduk
sejenak, silent of minute diheningkan khusus untuk saudara
seperjuangannya.
Stadion Arena Conda
bergemuruh pilu dua hari setelahnya, puluhan ribu orang memadati kandang
Chapecoense untuk memberi penghormatan terakhir. Warna hijau (warna kebesaran
club) menyatu bersama puluhan ribu gugusan cahaya yang dipancarkan seisi
stadion, tangisan puluhan ribu orang pun pecah ketika layar raksasa
memperlihatkan wajah-wajah pahlawan mereka yang sekarang sudah di surga.
Di Kolombia sendiri, tepatnya di kandang
Atletico Nacional, tempat di mana semestinya Chapecoense berada, doa juga
dipanjatkan oleh seluruh fans Atletico. Tak satu pun fans tuan rumah
yang batal hadir setelah kejadian. Mereka justru berbondong-bondong, serempak
mengenakan pakaian putih untuk mengiringi calon lawannya (yang tak pernah tiba)
ke tempat peristirahatan terakhir. Tak sampai di situ, club papan atas Kolombia
tersebut memohon kepada Conmebol agar trofi juara Sudamericana diberikan kepada
Chapecoense.
bola.okezone.com |
Dengan segala kerendahan
hati, sepak bola lagi-lagi mengajarkan kita apa itu kehidupan dari titik paling
dasar. Club-club besar Brazil
seperti Palmeiras, Corinthians, Santos mengajukan para pemainnya untuk
memperkuat Chapecoense secara cuma-cuma. Bahkan, club asal Paraguay ,
Libertad, juga melakukan hal yang sama. Tujuannya jelas, agar Chape tetap
hidup, agar para fansnya tidak kehilangan harapan, agar generasi yang sudah
tertulis tidak hilang begitu saja. Tak sampai di situ, seluruh club di Brazil
juga memohon kepada CBF (federasi sepak bola Brazil ) agar Chape tidak di
degradasi, setidaknya hingga tiga tahun mendatang.
Sekali lagi, sisi humanis sepak bola kembali
tampak jelas dari semua insannya. Kita tentu masih ingat petaka yang
menghampiri Alberto Morossini yang meregang nyawa di tengah lapangan. Ketika
pemain Livorno tersebut tak mampu bangkit setelah beberapa kali jatuh akibat
serangan jantung. Italia berkabung, seluruh kegiatan liga, baik Serie A hingga
liga Pro dihentikan selama dua minggu lamanya untuk mengenang kepergian pemain
pinjaman Udinese terebut. Tak hanya itu, Udinese sebagai club pemilik Morossini
pun berjanji akan membiayai kehidupan seluruh keluarga yang ia tinggalkan,
sebagai penghormatan terakhir padanya.
Atau bagaimana perhatian fans Aston Villa yang
tak pernah pudar pada mantan kapten mereka, Stiliyan Petrov yang harus gantung
sepatu lebih awal akibat penyakit Leukemia akut yang ia derita. Pemain berdarah
Bulgaria tersebut dilarang bermain sepak bola setelah di diagnosis dokter bahwa
penyakitnya dapat membahayakan nyawa sang kapten jika tetap bermain bola. Fans
pun tak henti-hentinya memberi dukungan untuk kapten pujaan mereka.
Tak tanggung-tanggung,
setiap pertandingan Aston Villa berlangsung di kandang, fans selalu berdiri dan
bertepuk tangan tepat di menit ke 19 (19 adalah nomor punggung Petrov di Villa)
sebagai bentuk dukungan agar Petrov kuat menghadapi penyakit yang ia derita.
Hingga pada akhirnya, angka 19 pun di pensiunkan The Villans untuk
menghormati jasa mantan pemain CSKA Sofia tersebut.
Sebagai club yang sebelum
kejadian namanya begitu asing di telinga kita, tentu Chapecoense akan terus
menelurkan cerita-cerita inspirasi bagi kita semua, tidak hanya mereka, tapi
seluruh insan sepak bola yang akan turut serta menyempurnakan harapan para
pemuja yang telah ditinggal pahlawannya. Seperti Ronaldinho Gaucho dan Juan Roman Riquelme yang sukarela turun
gunung untuk kembali menyinari cahaya seisi Arena Conda.
Sepak bola, sebesar apapun kebencian kita
padanya, nyatanya kita tidak bisa mendustakan diri bahwa ia banyak mengajarkan
kita bagaimana memperlakukan manusia lewat cerita getir tak terkira. Tak peduli
asal negara, antara siapa dan siapa, atau siapa dan untuk apa. Atas namanya,
sepak bola tak hanya menjalani sebuah kehidupan, tetapi juga menghidupi
kehidupan. Lewat sepak bola pula, kita bisa memanusiakan manusia
(lainnya).
Kerenn uy... Speechless tapi keren tulisannya
BalasHapusHatur nuhun kang..
BalasHapuskeren bang, ini tulisan layak bgt buat dilampirkan ke fandom atau pandit, ya minimal detiksport :)))
BalasHapusHahah makasih bung fan. Masih belom berani nyetor. Heheh
HapusSpeechless... Tulisannya bagus banget, Mas. Rasanya hanyut kebawa sedih membacanya
BalasHapusMakasih mba dian. Aku pun rada ga kuat sih nulisnya, karena emang kebawa emotional :)
BalasHapusTulisannya bagus banget, Bang Syafii. Bikin terenyuh, pula.
BalasHapusWadaw, baru pertama main ke sini udah asik aja. Mau coba cek postingan lainnya ah. Kelihatannya banyak artikel soal bola nih. Asoy markosoy.
Oiya, Kalau gak salah, sewaktu tragedi itu, Torino lagi jaya-jayanya kan ya? Sempet baca, di era dulu, justru Torino yang dianggap raksasa kota Turin, bukan Juventus.
Wah makasih Kak son udah berkunjung balik. Hehehe
BalasHapusIya jaman itu torino lebih besar drpd juve. Hehe
Siap Kak. Semoga tulisan saya nggak mengecewakan. Hehehe