Bentornato Serie A
sumber: redaksisport.com |
Bukan, saya bukan buzzer Trans 7 yang menjadi official TV
partner Liga Italia. Saya hanya pecinta keindahan Liga Italia yang gaungnya
kembali bisa kita rasa, seiring mengudaranya Serie A di layar kaca.
Sudah cukup lama memang kita tidak bisa menikmati para
gladiator lapangan hijau dari negeri pizza.
Kepopuleran yang terus merosot,
ditambah minimnya pemain bintang memaksa stasiun televisi (lokal) enggan
membeli hak siar Liga Italia. Lowongnya kursi-kursi tribun tifosi di stadion
semakin menenggelamkan gemerlap Liga yang sempat mahsyur pada medio 90-an
hingga awal millenium baru.
Banyak yang beranggapan jika merosotnya liga Italia
diakibatkan oleh kasus calciopolli
yang menggerogoti negara yang baru saja di tinggal perdana menterinya tersebut, pada 2006 lalu, belum lagi kiprah club-club Italia yang
tidak bisa melaju lebih jauh di kancah Eropa semakin membuat Serie A di tinggal oleh penggemar
setianya, juga para pemilik media televisi.
Di Indonesia sendiri, hampir semua stasiun TV pernah
merasakan dampak manis akibat menyajikan Liga Italia. Mulai dari ANTV, RCTI,
SCTV, Indosiar, Trans 7, Kompas TV, hingga TVRI. Dan tiga tahun terakhir, tidak
ada satu media televisi pun yang sudi menayangkan Serie A dengan beberapa alasan. Hingga pada akhirnya, musim ini Serie A kembali ke pangkuan Trans 7 yang
mulai memanjakan tifosi tanah air sejak dua minggu lalu. Meskipun tidak menayangkan
sejak awal musim, para pecinta keindahan sepak bola Italia di Indonesia tetap
mengapresiasi dan angkat topi pada stasiun TV yang kebetulan satu grup dengan
tempat perusahaan saya bekerja.
Kita semua kembali disuguhkan sepak bola indah khas Italia
tanpa harus membayar satu rupiah pun di penghujung bulan. Meski saat ini pihak Trans
7 hanya bisa menyanggupi satu pertandingan dalam satu minggu, ini tentu tidak
menjadi soal. Karena nyatanya, ini hanya permulaan agar ke depan Trans 7 bisa menayangkan 2 atau bahkan 3 pertandingan
setiap minggu nya. Semoga.
Meski sempat kecewa karena batalnya Derby Milano tersiar di
layar kaca. Seminggu berselang, kegelisahan pecinta liga Italia benar-benar
terbayar saat Inter Milan v Fiorentina kembali menghiasi TV kita. Terutama saya
yang sangat haus akan kerinduan menyaksikan La
Beneamata (julukan Inter Milan) bertanding. Terus terang saja, terakhir
kali saya menyaksikan Inter bermain kala melakoni Derby Milano dua musim lalu
yang dimenangkan Inter lewat gol backhill
Rodrigo Palacio. Bukannya tak cinta dan tak sayang, apa boleh dikata, Erik
Tohir telah merusak cerita indah saya.
Apa yang dirindukan penggemar sepak bola Italia pun terbayar
lunas, setidaknya itu dirasakan fans Inter Milan di tanah air setelah pihak TV
memilih menayangkan club pujaan mereka. Perasaan Interisti pun semakin berbinar
kala club kesayangan bermain kesetanan pada awal laga dan langsung unggul 3-0
pada 20 menit pertama.
Yang benar-benar dirindukan itu pun kembali. Sebuah
kerinduan yang tak bisa diganti oleh liga Spanyol dan Inggris. Bahkan Liverpool
sekalipun. Menyaksikan kemenangan Inter untuk pertama kali diiringi gemuruh
seisi Gueseppe Meazza. Lewat dentuman-dentuman ledakan yang acap kali menghiasi
pertandingan Serie A seakan membawa
saya kembali ke zaman di mana liga Italia menjadi komoditi nomor satu pecinta
sepak bola Indonesia.
Kita tidak akan bisa mendengar semacam ledakan di Liga
Eropa lainnya. Karena hanya memang Liga Italia yang bisa menawarkan hal itu.
ketika di Inggris, Spanyol, dan Jerman menganggap itu membahayakan, Liga Italia
tetap menjadikannya sebuah keindahan yang selalu dirindukan.
Nostalgia Serie A
Italia semakin terasa nikmatnya saat disetiap gol tercipta, seluruh penonton
meneriakkan nama belakang sang pencetak gol secara serempak. Terhitung hingga
tiga atau sampai lima kali para tifosi meneriakkan nama pencetak gol yang dikomandoi
oleh leader mereka. Dan lagi-lagi,
ini tidak saya temukan kala menyaksikan pertandingan di Inggris atau Spanyol.
Budaya seporter-seporter di Italia memang sedikit berbeda
dibanding seporter yang ada di Spanyol dan Inggris. Mereka cenderung sama dengan
fans asal Eropa timur atau Turki yang spontan dan terkesan beringas dalam mendukung
tim. Di waktu yang bersamaan, fans-fans di Inggris dikenal sangat “santun”
mendukung tim kesayangan, bahkan saat awayday
sekalipun (terlepas dari aksi Hooligans tim nasionalnya yang brutal).
Kita hampir mustahil melihat stadion di Italia tanpa amukan
asap yang mengepung seisi lapangan. Sekalipun tribun penonton tidak terisi
penuh, tapi hampir bisa dipastikan jika lapangan pertandingan menjadi gelap
dipenuhi asap yang berasal dari flare dan
smoke bomb. Dan semakin indah oleh kibaran banner-banner besar serta bendera raksasa yang selalu menghiasi
stadion.
Belakangan, di Inggris, Liverpool beberapa kali mulai
mewarnai tiap sudut stadion dengan smoke
bomb merah yang kerap mengasapi saat tim kesayangannya mencetak gol. Tapi
sialnya, club harus menanggung hal tersebut kala FA menjatuhi sanksi akibat
ulah Liverpudlian. Alasannya cukup
sederhana, smoke bomb, flare, dan sejenisnya
memang dilarang di sepak bola Britania.
Beberapa tahun lalu, ketika Liga Italia masih mendapat
tempat di TV Indonesia, mata saya harus menatap lebih dalam ke pertandingan
akibat lapangan yang tertutup pekatnya asap dari para seporter. Terkesan
mengerikan memang, tapi itu lah identitas mereka, daya tarik mereka. Dan itu
pula yang selalu saya rindukan dari Liga Italia.
Untuk beberapa kalangan, hanya buang-buang waktu saja
menyaksikan liga Italia karena permainannya yang lambat dan cenderung
membosankan, tapi bagi pecinta keindahan sepak bola, Liga Italia adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan, lewat fenomena seporter yang tanpa takut membela
tim kesayangan, hingga panorama gol-gol indah dari para gladiatornya yang hanya
terjadi di liga Italia. Bagi saya, tidak ada pemain dari belahan dunia manapun
yang mampu mencetak gol semagis Fransesco Totti atau Antonio DI Natale.
Maka tidak ada kata terlambat sekiranya media tanah air baru
memanjakan pecinta Serie A di tengah
kompetisi. Seperti kata Fiersa Besari sekalipun saya bukan penggemar blio dan tidak pernah baca buku-bukunya
“seperti dendam, rindu juga harus dibalas tuntas,”. Karena liga Italia selalu
menawarkan kita sebuah keindahan sepak bola. Ya, Beauty Of Serie A.
sumber: radarindo.com |
Selamat datang kembali, Serie A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar