Jumat, 25 November 2016

Passion

Baru-baru ini saya sempat dihardik seseorang begini “susah sih kalo emang nggak punya passion nulis,” di sebuah percakapan grup. Cukup beralasan memang ia berkata demikian, ia jengah melihat tulisan saya yang masih salah spasi, salah ukuran gambar, ya intinya salah lah.
source: lapastelly.com


Sebagai penganut hadist sahih “perempuan selalu benar” saya pun mengakui kesalahan-kesalahan itu. Dan memang hal tersebut masih menjadi permasalahan dalam diri saya, gaya penulisan saya. Tapi, ini bukan perihal passion tentu saja.

Hmmm…gimana ya, sebenarnya saya ingin mengatakan ini pada beliau, tapi ya itu tadi, akan terbentur hadist di atas. Oleh karena itu saya jadikan tulisan saja (yang sepertinya akan tetap ada kesalahan-kesalahan tata bahasa…hahaha)

Tak bisa dipungkiri, keberanian saya untuk menulis hanya modal nekat semata. Rasa malas yang sering menghinggapi ketika harus membaca buku yang terus menumpuk semakin menghanyutkan saya dalam kegamangan tata penulisan yang benar. Saya cukup jarang memerhatikan tanda baca, spasi, dan bahasa. Sedari awal membaca, saya selalu terfokus dengan isi cerita dan mengabaikan hal lain yang sama pentingnya.
Tapi sekali lagi, ini bukanlah masalah passion. Ini lebih kepada masalah tidak mau belajar dan lebih teliti lagi. Sebagai pembaca, saya lebih nyaman membaca sebuah tulisan yang memiliki kekuatan dalam cerita, sekalipun banyak spasi yang ke sana sini, tanda baca dan kata yang tidak sesuai kaidah bahasa, dari pada saya harus membaca tulisan yang sangat detail dengan segala tetek bengek KBBI tapi abai dengan isi cerita dan cara menyajikannya. Dan ini cukup sering saya temukan ketika membaca beberapa tulisan yang sangat rapi secara kaidah bahasa, tapi hancur dari segi cerita. Ini opini saya pribadi lho ya!

Memang, jika isi cerita sama bagusnya dengan tata bahasa akan menjadi sempurna untuk kita baca. Semua orang pun menjadikan kedua hal ini sebagai kewajiban yang harus dilakukan, tak terkecuali saya. Tetapi tidak jarang saya tetap bisa menikmati tulisan yang hanya fokus pada isi ceritanya.

Dan percayalah, lambat laun, setiap membaca sebuah karya, saya semakin concern dengan setiap kata yang ditulis. Diksi-diksi yang diciptakan semakin saya dalami, tata bahasa yang baik dan benar pun semakin saya geluti, supaya kualitas tulisan saya membaik. Bukan untuk menumbuhkan passion tentu saja. Karena, jika tidak punya passion tidak mungkin saya berani menulis dengan modal nekat tadi. Tanpa passion pula, mustahil rasanya blogspot berubah menjadi com yang kemudian berbuah Tetralogy Pramoedya Ananta Toer.

“Tulisan yang baik adalah tulisan yang berasal dari kegelisahan,” kata seorang penulis terkenal (saya lupa namanya). Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, latar belakang dari setiap isi tulisan saya memang berdasarkan kalimat di atas. Baik itu sepak bola, politik, sosial budaya, bahkan tulisan hiburan pun berawal dari kegelisahan yang muncul dari pemikiran saya. 

Lagi-lagi. Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, tanpa sadar saya telah mengamini apa yang selama ini Pram katakan, “menulis adalah sebuah keberanian. Dan keberanian adalah ketulusan,” lewat modal nekat yang saya katakan di atas. Sepemahaman saya, nekat juga merupakan bagian dari passion, bukan? Jadi, selama proses pembelajaran ini berlangsung, dengan segala hormat saya bertanya, passion setingkat apa yang kamu tuntut dari tulisan saya? Apakah saya harus menggebu-gebu layaknya mz Komo yang senantiasa mengumbar urat nadi dalam setiap kata yang diucap ketika memandu dede-dede galau di “Katakan Putus”? atau kah, passion saya harus selantang suara mz Cakra Khan yang semakin serak-serak seret itu? atau jangan-jangan, saya harus menjadi bloger goodie bag dulu untuk mengukur sejauh mana passion saya?

Dari sini, muncul kegelisahan baru dalam diri saya, apakah mereka yang menulis hanya untuk alasan komersil masih memiliki passion yang sama saat pertama kali menulis?  

Hingga kini (dan nanti), alasan saya nge blog hanya menulis, dan berbagi cerita, itu saja. Alih-alih memikirkan berapa DA/PA, berapa Alexa Rank, berapa followers di Twitter (terlebih lagi Instagram). Jangankan mikirin istilah-istilah di atas, sampai sekarang saya bahkan tidak tahu dan terkesan tidak mau tahu apa itu DA/PA, apa itu Alexa Rank yang diagung-agungkan para bloger. 

Di sisi lain, saya cukup sepakat dengan pendapat salah satu teman, yang menekankan bahwa tidak ada masalah passion yang hinggap di benak saya. Tapi tidak mau belajar, dan membenahi kesalahan yang lalu, yang memang sangat tampak dan menjadi titik lemah di tulisan-tulisan saya selama ini.

Sekalipun menurut logika beliau saya tetap tidak memiliki passion, toh, saya masih bisa bersyukur dengan keadaan seperti ini. Setidaknya tanpa passion yang ia maksud itu, saya tak perlu repot-repot mengejar dateline. Ya, dateline



15 komentar:

  1. Siapa yang ngomong lo gak punya passion bang? Mau ketawa rasanya. Passion, bakat atau apapun itu bisa diasah. Yang terpenting sih lo udah nulis, Bagus atau gak nanti juga berjalan seiring waktu kok. Ingat aja, bakat 1%, kerja keras 99%. Semangat menulis bung Wanda!

    BalasHapus
  2. Daebak!
    Dijadikan tulisan :)

    wanda nggak punya passion dalam tulisan yang baik. bukan passion menulis :)
    tulisan wanda yang ini sudah lebih baik spasinya.
    tata bahasanya sudah baik juga. jujur, di tulisan kali ini bena semangat ngebacanya, karena nggak ada yang perlu bena batin "duh, ini spasinya kurang bener, duh ini typo." cuma satu kebatinan. GAMBAR. wanda, gambarnya di benerin :)

    terima kasih atas tulisannya.
    wanda tipe yang keras kepala, jadi harus di gituin, bukan di hardik :)
    selow, bena sayang wanda kok :) jadi ngasih yang baik2 utk wanda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bena baca tulisan diatas sampe pake kacamata :)

      Hapus
    2. Iya ben. Semoga terus membaik tulisannya. Lebih-lebih masalah gambar yg entah kapan benarnya. Wkwkwk

      Hapus
  3. ala bisa karena biasa. Tulisan bagus atau tidak, tergantung masing2 orang menilai, hehehe. Tulisan jurnalis pun kadang tanda bacanya gak klop... :)))

    BalasHapus
  4. saya malah ga tahu mas. DA/ PA itu apa. cuma emang kalo nulis itu menyenangkan buat mas. dilakuin aja. pasion itu adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tapi kita tetap senang. kalo fashion pakian. apa sih

    BalasHapus
  5. Gue dulu juga sering salah kok. Santai, menulis itu sulit. Nikmati aja prosesnya. Syukur2, kalau ada yang ngingetin, ini salah, itu salah. Tandanya ada yg perhatian.

    Salam, www.dontrizal.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat mas. Beruntung juga sih banyak yg ngingetin kekurangan tulisan Kita hehe

      Hapus
  6. Inspiratif banget. Passionate di nulis bisa dibentuk. Yang diperlukan cuma tulisan kita bisa dihargai. Udah itu aja

    BalasHapus
  7. Saya tahu tulisan ini untuk siapa, dan karena apa tulisan ini muncul. Tapi saya juga tahu Wanda memiliki kualitas yang baik dalam bercerita.

    Saya suka dengan cara Wanda bercerita, entah untuk kasus apapun, Wanda pasti menulis dari sudut pandang yang berbeda. Betul, saat pertama kali berkunjung, banyak sekali kaidah kebahasaan yang Wanda langgar. Tapi saya, dan semua blogger saya kira, pastilah memiliki kasus cerita yang sama di mula.

    Jadi, bersenang-senanglah, belajar tak ada batasnya, kok.

    Ah, suka sama tulisan ini, terima kasih, Mbak. Tulisannya menginpirasi, bolehlah kiranya saya dipinjamkan Tetralogi itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nuhun mas. Masukan dan pencerahan yg sangat berharga. Akan terus saya perbaiki.

      Disini saya rembukan 2 kesalahan. 1, mbak. Maksudnya apa?
      2.harusnya saya mau minjem itu. Ih

      Hapus
  8. Ahaha. Kamu menulis kan karena apa yang mau kamu tulis, Mas. Bukan apa yang mereka mau baca. Kalo saya, sih, kurang peduli kalau dikatain menulis bukan passion saya. Karena passion saya curhat. Ya, biasanya sih curhat di tulisan. Ehehe.

    Yowes, yang penting tetap terima kritik orang itu, ya! Terus menulis apa yang kamu resahkan. Ehehe~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh sukanya curhat mas. Berarti yg eskrim itu curhat juga ya? Kisah pribadi? Hmmm~~

      Hapus