Senin, 20 Maret 2017

Ke(tidak)nyamanan Pep Guardiola

Banyak pelatih hebat yang sudah berpindah dari satu klub ke klub yang lain, dari satu negara ke negara yang lain, tak terkecuali Josep Guardiola. Mantan pemain Barcelona ini mengawali karir melatihnya dengan membesut klub yang membesarkan namanya, Barcelona, pada 2008 lalu. Tanpa pengalaman melatih tim profesional sebelumnya, Pep, begitu ia disapa, mampu memberikan semua gelar yang tersedia, di tahun pertama.

Klub asal Catalan menjelma menjadi klub paling menakutkan di dunia, yang dikenal dengan permainan tiki-taka nya. Imbasnya, dalam rentang waktu yang lebih singkat, Pep berhasil menyetarakan namanya dengan mendiang Johan Cruyff dalam urusan torehan gelar yang dipersembahkan pada publik Nou Camp.

Seiring waktu berjalan, dan mulai ditebaknya permainan Lionel Messi cs, tiki-taka semakin meredup daya magisnya. Pep akhirnya mundur dari kursi kepelatihan dan memutuskan rehat dari dunia sepak bola,  selama semusim kompetisi. Siapa sangka, Pep, yang sempat mengaku jemu akan permainan tiki-taka yang ia ciptakan, menyeberang ke tanah Bavaria, dan melatih tim tersukses Jerman, Bayern Munchen.

Banyak yang tak percaya dengan keputusan pria asli Catalan ini, karena sebelumya ia lebih santer diberitakan akan melanjutkan karir di Inggris untuk menjadi suksesor Sir Alex Ferguson di Manchester United, atau membangun dinasti baru di Manchester City.

Kekagetan para pengamat sepak bola memang sangat beralasan, sebab di Jerman, tidak ada yang mampu menandingi kedigdayaan FC Hollywood, yang sebelumnya sukses merengkuh treble winner bersama Jupp Heynckes. Tanpa perlawanan berarti dari kompetitor lain, Pep selalu mengangkat trofi Bundesliga sebelum kompetisi berakhir. Musim lalu saja, ia membawa Thomas Muller cs menjadi kampiun liga dengan menyisakan 10 pertandingan. (koreksi jika saya salah)

Sebuah pencapaian domestik yang tidak luar biasa-luar biasa amat, mengingat kompetisi Bundesliga yang hanya melibatkan Bayern Munchen dan Borussia Dortmund saja (beberapa tahun belakangan). Belum lagi kebiasaan FC Hollywood yang selalu menyomot pemain rival, semakin membuat kita ya setidaknya saya tak berdecak kagum dengan pencapaian Pep selama menangani Die Roten.

Satu hal yang membuat pencapaian Pelatih berusia 46 tahun ini biasa-biasa saja di negeri Angela Merkel adalah tidak jelasnya persaingan di papan atas Bundesliga yang selalu berganti kesebelasan. Ada kalanya saingan The Bavarian adalah Schalke 04, di lain waktu, VFB Stuttgart menjadi penantang serius, di musim berikutnya bisa Wolfburg atau Werder Bremen yang menjadi pesaing mereka. Fakta ini kembali mempertegas bahwa Der Klassiker bukan hanya milik Munchen-Dortmund saja. Dan sekarang, pesaing Bayern ke tangga juara justru berasal dari klub promosi, RB Leipzig.

Ketidak luar biasaan pria yang pernah akrab dengan Jose Mourinho ini bisa terlihat jelas di ajang liga Champions Eropa. Meraih 2 trofi bersama Barcelona, Pep melemah di Jerman. Jangankan satu trofi, mencapai final pun, ia tak mampu. Dibantai klub kesayangannya, Barcelona di semifinal dua tahun lalu, Munchen harus angkat kaki di perempat final musim lalu dari Atletico Madrid.

Meraih gelar domestik beruntun di Jerman, membuat Pep Guardiola tak perlu menganggur satu musim lagi untuk mendapatkan tim baru. Manchester City kembali menawarkan kebersamaan yang sempat tertunda. Rayuan Syeih Mansour Al Nahiyan tak mampu ia tolak untuk kedua kali.

Ia datang membawa harapan baru bagi si tetangga berisik, setelah lunglai bersama Pellegrini sebelumnya. Mata uang Poundsterling yang tak berseri ala raja minyak membuat Pep bebas memilih pemain incaran. Kedatangan Ilkay Gundogan, Leroy Sane, John Stones, Claudio Bravo, Nolito, dan kemudian Gabriel Jesus di tengah musim semakin membuat skuat The Cititzen berkilau.

Awal musim ini, City langsung memnucaki Liga Premier Inggris selama berminggu-minggu. Tapi tunggu dulu, ini Liga Inggris. kompetisi yang tidak mungkin menjadi mungkin, sebuah tempat yang di negara lain hanya sebatas dongeng, di Inggris bisa menjadi nyata. Dua kali dilumat klub semenjana seperti Everton 4-0 dan Leicester City, dengan skor 4-2 semakin melengkapi catatan minus Pep lainnya.

Terakhir, City ditahan imbang Liverpool 1-1 di Etihad Stadium. Hasil ini tak ayal menjadi pertanda bahwa Pep tidak cukup mampu mengangkat moral para pemainnya pasca disingkirkan AS Monaco di Stade Louis II.

Ya, rasa sakit tentu masih terasa jelas di pundak penggawa The Citizen kala mereka dipermalukan AS Monaco di Liga Champions, tengah pekan lalu, dengan skor 3-1, setelah sebelumnya unggul 5-3. Sedikit catatan, sebelumnya, tidak ada klub yang tidak lolos jika sudah memasukkan lima gol ke gawang lawan di leg pertama. Rekor ini tentu membuat nama Manchester City dengan Pep Guardiola nya abadi di buku sejarah.
sumber: independent.co.uk
Menjadi raja di Jerman dan menguasai dunia bersama Barcelona, Pep seakan menjadi pelatih yang baru meniti karir ketika menginjakkan kaki di tanah Britania. Tersingkir di babak 16 besar Liga Champions tak ayal membuat Manuel Pellegrini dan Joe Hart tertawa geli di tempat barunya.

Terlebih bagi Joe Hart yang terbuang ke Italia hanya karena tak cocok dengan filosofi bermain ala Pep. Ya, Pep ingin penjaga gawangnya ikut terlibat dalam permainan dengan sepuluh pemain lainnya. 

Bagi saya pribadi, tugas utama kiper adalah menjaga gawang sebaik mungkin dari serangan lawan, bukan ikut bermain bersama bola. Filosofi kiper idaman ala Pep tak hanya membuat Joe Hart terbuang ke Torino, tapi juga mencoreng kapasitas Claudio Bravo sebagai pengganti kiper nomor satu Inggris tersebut.

Bravo yang sukses membawa Chili dua kali meraih Copa Amerika dan satu kali Liga Champions bersama Barcelona harus menjadi bulan-bulanan striker lawan, juga fans lawan yang selalu menyorakinya saat mantan kiper Real Sociedad ini memegang bola. Nasib Bravo semakin tak jelas ketika Willy Caballero merebut tempat utama.

Beberapa catatan minor City musim ini membuat Pep angkat bicara, bahwa ia masih beradaptasi dengan gaya Kick N Rush Premier League memang menjadi alasan kuat tak terbantahkan, meski sebelumnya ia tidak mengalami kendala yang sama di Jerman. Alasan lain yang menurut saya cukup jenaka tentu saja pengakuan Pep yang tak pernah mengajarkan anak asuhnya merebut bola dari pemain lawan.

Hal lain yang dirasa penting dan tak terfikirkan oleh Pep sebelumnya adalah, ini Liga Inggris, bukan La Liga atau Bundesliga. Inggris dikenal memiliki kompetisi paling kompetitif di dunia, karena tidak hanya mengenal dua, atau tiga klub yang bersaing merebut juara. Dalam hal transfer pemain saja, hampir semua tim di EPL setara dan tidak membuat perbedaan jauh antara pemain klub satu dan klub lainnya.

Sedangkan La Liga atau Bundesliga, kita sudah tahu semua. Sudah ada penghuni tetap disinggasana. Berbicara Liga Spanyol maka kita berbicara perebutan juara antara Barcelona dan Real Madrid. Tak hanya juara, kedua kutub berbeda ini juga memonopoli hak siar pertandingan, yang membuat 18 kontestan lain hanya mendapat tak lebih dari setengahnya hak siar Los Cules dan Los Galacticos.

Lain cerita dengan Bayern Munchen di Jerman. Klub, pemain, seakan tak kuasa menolak tawaran dari FC Hollywood jika sudah berkehendak. Melemahkan skuat lawan sudah menjadi cara lawas Munchen dan semakin membuat mereka tak memiliki lawan sepadan, siapa pun pelatihnya. Lawan tangguhnya beberapa musim lalu, Borussia Dortmund pun tak luput dari hal demikian. Mulai dari Mario Gotze, Robert Lewandowski, hingga sang kapten, Mats Hummels memebelot ke Allianz Arena.

Perbedaan Ini pula yang membuat seorang Pep Guardiola tampak kecil di kompetisi Premier League. Bahwa selama ini kebesaran yang ia dapat di semenanjung Iberia dan tanah Bavaria bukan karena kepiawaiannya, melainkan tak ada perlawanan berarti dari kontestan lainnya.

Pep mungkin lupa, kedigdayaannya bersama Barcelona terbantu berkat seorang Lionel Messi,  dan kegagalannya bersama Bayern Munchen di Eropa karena ketiadaan Lionel Messi di skuatnya. Sementara itu, merosotnya performa Manchester City di bawah kendalinya disebabkan ia tak begitu hebat melatih di liga yang jauh lebih kompetitif.

Suka tidak suka, kita harus mengakui jika Jose Mourinho lebih baik ketimbang Pep Guardiola. Tiga trofi domestik dari tiga negara berbeda telah ia raih. Pun dengan dua gelar Liga Champions yang ia dapat dari dua tim berbeda, yang sebelumnya tak diperhitungkan untuk menjadi juara, menjadi bukti sahih lainnya.





8 komentar:

  1. Satu aja sih kekurangan paling menonjol Pep Guardiola, dia nggak pernah nyisir.

    BalasHapus
  2. Oh jadi gitu ya, Mas.Bingung mw komen apa.he
    Aku kurang mengikuti perkembangan ginian.. :(

    Salam kenal ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak apa mas. Nggak semua nya bisa nerima tulisan sepak bola. Hehe

      Salam kenal kembali :)

      Hapus
  3. Aku mencoba mencerna, sambil belajar mengerti dunia sepak bola. Tapi akhirnya aku tersesat dengan deretan nama-nama yang ga familiar di mata aku. Maafkan.
    Mau coba baca-baca lagi ah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.... Aku maklum kok mba. Makasih banget mba Dian udah mau baca hehehe

      Hapus
  4. Pas baca url blognya aku pikir ini blog cewek yg suka bola.. eh cowok... hehe.. aku suka nonton bola tapi ga apal nama-nama. Taunya menilai mana pemain ganteng, mana yang biasa-biasa aja.. mana yang giginya tonggos.. gitu doang..

    ._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahahah mbak orang ke entah berapa yg mikir gitu. Ahahaha

      Iya sih umumnya cewe suka bola ya karena gantengnya. Hehehe

      Hapus