Rabu, 15 Maret 2017

Mencintai Pragmatisme Sepak Bola

Tidak bisa kita pungkiri, sepak bola sudah menjadi komoditas penting bagi pecintanya, atau bahkan bagi pemilik kepentingan di dalamnya. Sebagai olahraga universal, sepak bola telah menjabarkan beribu tafsir yang bisa menelurkan persahabatan bagi mereka yang seiman, walau tak sedikit yang berakhir dengan permusuhan karena berbeda jalan.

Sedari dulu, menyaksikan pertandingan sepak bola hampir pasti kita disuguhkan pertunjukan yang menawarkan keindahan dari setiap pelakunya. Sudah cukup banyak pula strategi dan formasi yang ditemukan para pelatih hebat agar terciptanya pemainan indah yang berujung kemenangan. Hingga kini, formasi-formasi itu pun masih terus berevolusi.

Seperti Belanda yang tersohor dengan Total Football nya yang menekankan pada mobilitas tiap pemain di lapangan, atau Brazil yang menciptakan Jogo Bonito yang indah dan tak bosan untuk terus kita saksikan.

Beda zaman beda permainan. Mungkin ungkapan sederhana ini menjadi cerminan sepak bola era sekarang yang semakin menghambakan pada tiga angka. Tak peduli bermain cantik atau jelek, bertahan atau menyerang, jika kemenangan sudah di tangan, itu semua tidak jadi soal. Sekarang, orang cenderung mengenalnya dengan istilah pragmatis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatis diartikan sebagai sesuatu yang bersifat praktis. Sedangkan menurut para ahli bahasa, pragmatis adalah sebuah konsep yang menekankan pada sisi kepraktisan dibandingkan sisi manfaatnya. Jika di sepak bola, kita bisa menyimpulkan bahwa pragmatis adalah sebuah metode permainan yang hanya bertujuan menghasilkan kemenangan tanpa memperhatikan teknik permainan.

Sebagai contoh, kita kembali lagi pada Brazil dan Belanda. Kedua negara dahulu menciptakan sistem permainan yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Namun, sejak dipimpin Bert Van Marwijk pasca Euro 2008, tim negeri Kincir Angin perlahan mulai meninggalkan Total Football yang kadung melekat dalam budaya sepak bola mereka.

Pelatih yang juga mertua Mark Van Bommel ini membawa De Oranje bermain lebih pragmatis, yang hanya memikirikan kemenangan. Meskipun ia berhasil membawa Sneijder cs ke final piala dunia 2010, namun tak sedikit yang mengkritik permainan mereka, termasuk dari para legendanya sendiri.

Setali tiga uang, Brazil yang tiap tahunnya disesaki talenta dengan kemampuan di atas rata-rata juga bernasib serupa. Carlos Dunga, yang menjalani debut profesional pertama sebagai pelatih kepala tampaknya belum memahami betul apa itu Jogo Bonito yang dulu sempat ia peragakan saat masih aktif bermain. Menyianyiakan bakat luar biasa Robinho, Kaka, Coutinho dan Neymar di atas lapangan menjadi dosa besar Dunga selama melatih tim Samba. Tak heran, jika mantan pemain Fiorentina ini dua kali dipecat dari tim nasional.

Meski sejak diambil alih Tite permainan Tim Samba mulai berubah dan kembali menghibur penontonnya, tetap saja, sepak bola mulai kehilangan sedikit makna dari segi hiburan dan keindahan. Tidak salah memang jika banyak pelatih yang mulai menerapkan permainan pragmatis yang cenderung bertahan jika sudah memimpin pertandingan, karena dalam olah raga apapun, semua tentu ingin berakhir sebagai pemenang.
sumber: olahraga.pro
Di lain pihak, kita bisa dengan senang hati menerima dalih tim-tim semenjana yang menerapkan permainan demikian ketika melawan tim besar. dengan kualitas pemain yang jauh berbeda, satu-satunya cara yang bisa dilakukan tentu saja bertahan sebisa mungkin, dan membuang bola sejauh mungkin agar terhindar dari kekalahan, atau hanya untuk menghindari banjir gol ke gawang.

Tapi apa jadinya jika tim besar menerapkan permainan demikian? Satu dari sekian pelatih hebat yang dikenal pragmatis tentu saja Jose Mourinho. Jose, sebesar apapun mulutnya, ia tetaplah seorang yang realistis dalam sepak bola. “mereka mengendalikan permainan, menekan kami sepanjang laga, tapi pada akhirnya tetap kami yang keluar sebagai pemenang, itu yang penting.” sudah sangat sering Mou berujar seperti itu untuk membungkam para pengkritiknya.

Saat pertandingan leg kedua, babak semifinal Liga Champions 2009 lalu, Inter Milan, tim yang dilatih Mou ketika itu membuat frustasi Barcelona dan seisi Camp Nou, tatkala Inter bermain dengan pertahanan berlipat (setelah unggul 3-1 di leg pertama) yang sekaligus membuat Victor Valdes marah melihat selebrasi The Special One di akhir laga. 

Hingga kini, tim-tim yang dilatih pria Portugal ini akrab dengan permainan membosankan. Bahkan julukan sebagai tim parkir bis akan melekat padanya, di klub manapun ia berada. Julukan ini disematkan karena kebiasaan Mou  yang terlalu bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik cepat. Bagi tim sebesar Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan kini Manchester United, dengan deretan pemain hebat, tentu ini menjadi antitesis  dari filosofi sepak bola menyerang khas tim bertabur bintang itu sendiri.

Meski banyak yang mengkritik strategi ini, permainan pragmatis yang akrab dengan menumpuk pemain di area sendiri ini sedikit banyak menjadi senjata andalan beberapa klub yang semakin berhati-hati dalam melakoni laga maha penting. Seperti final piala dunia 2014 lalu yang mempertemukan Jerman vs Argentina.

Pada masa Maradona dan Franz Beckenbauer, laga kedua negara berjalan sangat menarik. Jual beli serangan tak jarang membuat detak jantung berpacu kencang. Tapi apa yang terjadi di Brazil tiga tahun lalu tentu menjadi antiklimaks dengan apa yang terjadi pada medio 70-80an.

Padahal, kedua kesebelasan memiliki deretan nama yang tak kalah kondang dari pendahulunya, seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, Kun Aguero (Argentina), Thomas Muller, Mesut Ozil, Bastian Scweinsteiger (jerman), yang seharusnya bisa membuat permainan kedua tim lebih hidup.

Final-final selanjutnya dari berbagai ajang pun berakhir sama. Seperti tiga helatan terakhir Liga Champions yang berujung pada adu pinalti dan perpanjangan waktu.Tak ada suguhan menarik selayaknya pertandingan final. Berhati-hati dan menunggu lawan membuat kesalahan menjadi kunci kemenangan. Kita para penonton pun kena imbasnya, dipaksa menunggu  lebih lama hanya untuk menyaksikan satu gol bersarang dijala lawan.

Permainan atraktif nan menghibur memang tidak melulu menghasilkan banyak gol dan berujung kemenangan. Saling serang ke gawang lawan, penyelamatan-penyelamatan penting kiper di mulut gawang menjadi tontonan amat menarik kiranya, sekalipun tidak ada gol yang tercipta.

Tidak mungkin tidak, bahwa semakin banyak orang yang yakin jika keindahan sepak bola semakin pudar tergerus zaman. Memang banyak yang menerima pragmatisme sepak bola jika tim yang dibela meraih kemenangan, tetapi tidak sedikit pula yang tidak senang, sekalipun timnya juga memenangkan pertandingan.

Zdenek Zeman mungkin menjadi segelintir pelatih yang beranggapan bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Ia tak sungkan mengubah formasi tim dari 3-5-2 klasik menjadi 2-3-5 yang menyerang total dan tak lazim dipakai pelatih lainnya. Tak heran, dengan permainan seperti ini, AS Roma dan Pescara menjadi tim paling produktif selama dilatih pria asal Republik Ceko tersebut. Meski torehan ini berbanding lurus dengan catatan kebobolan mereka yang tinggi.

Tapi, sekali lagi, sebosan apapun kita menyaksikan satu pertandingan si kulit bundar, kita tetap saja tak bisa berpaling dari layar. Bahwa di dalam hati ingin segera terlelap dan mata semakin sembab bukanlah jadi soal. Karena semua akan kembali pada hakikat bola sebenarnya sebagai penghibur pula pemersatu sesama.

Kekalahan, kemenangan, kebosanan,  menyatu dalam satu kebahagian bernama sepak bola. seburuk apapun sepak bola, sejengkel apapun kita dibuatnya, ia telah membuat kita melupakan sejenak tekanan hidup yang sehari-hari kita rasakan.

Selebihnya kembali lagi ke kita, apakah tetap mencintai sepak bola dengan semua kebosanan di atas lapangan,  atau beralih ke cabang olah raga lain yang menawarkan sensasi yang berbeda. Tapi menurut saya, kita akan rela begadang dan kemudian tertidur pulas di tengah pertandingan hanya dihadapan sepak bola yang membosankan, ketimbang olah raga lain yang lebih menghibur.



5 komentar:

  1. Wah ... saya memang tidak suka bola, jadi kurang tahu tentang strategi permainan bola, hehe

    BalasHapus
  2. Pragmatis sebenarnya ga salah, tapi bermain cantik akan membuat semua lebih indah... hehe

    Misal pada Piala Asia 2007, Indonesia cuma main di fase grup, tapi karena mainnya lumayan, masyarakat jd ngemaklum... Salam kenal dari sesama gibol :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat Mas, emang nggak salah. Bahkan itu bagian dari strategi permainan bola. Heheh

      Salam kenal kembali
      *Cheers*

      Hapus
  3. Min Sepak Bola itu banyak tantangannya jika kita jadi Pelaku atau pemainnya ...

    BalasHapus
  4. Gak begitu paham sepak bola, cuma suka dibeliin kaos MU di priceza.co.id hihi, lumayan keren jadinya. Iyah lelaki tulen emang paham bola. Saya baca post-mu sebagian besar bahas bola. Waaah kece!

    BalasHapus