Awal
zaman 90-an hingga memasuki era millennium baru, liga Italia mendapatkan
panggungnya di kancah internasional, jauh melebihi Liga Inggris, Spanyol,
apalagi Liga Jerman. Sorak sorai yang menyertai keindahan Serie A pun sampai ke
telinga penikmatnya di Indonesia yang kemudian memunculkan cukup banyak Fanbase
yang “menuhankan” club-club negeri pizza
tersebut. Mulai dari club-club besar semisal Juventus, Inter Milan, AC Milan,
AS Roma, Lazio dan juga club-club semenjana seperti AC Parma, Fiorentina,
Sambdoria, Udinese, Torino, bahkan Chievo juga memiliki fanbase nya di
Indonesia.
Seiring
berjalannya waktu, kedigdayaan Serie A Italia pun semakin “mengerucut” yang
diawali dengan kasus Calciopolli yang melibatkan club-club besar seperti
Juventus dan AC Milan pada 2006 silam. Kasus yang awalnya membawa “berkah” bagi
tim nasional Italia yang pada tahun itu menyabet gelar juara dunia, tapi pada
perjalanannya semakin mengubur kompetisi Serie A itu sendiri.
Di era
2000-an mata kita dimanjakan dengan taburan bintang-bintang sepak bola dunia
yang berkiprah di Italia seperti Gabriel Batistuta, Ronaldo, Andrey Shevchenko,
hingga sang maestro, Zinedine Zidane.
Tapi itu hanya menjadi sisa-sisa cerita indah yang di tawarkan Liga Italia,
mengingat, detik ini Liga Italia seperti “terperangkap” dalam sebuah ungkapan satire yang familiar di telinga, “hidup
segan, mati pun tak mau”.
Banyak hal yang melatar-belakangi saya berani
mengeluarkan ungkapan seperti itu. Diantaranya;
1. berkurangnya
jatah Liga Champions untuk club-club Italia
“kebangkrutan”
Serie A Italia bisa dikatakan berawal dari pengurangan jatah yang dilakukan
UEFA kepada Club-club Italia untuk berpartisipasi di ajang Liga Champions. Hal
ini dilakukan berdasarkan penilaian yang dilakukan UEFA terhadap kompetisi
Serie A yang semakin lama semakin merosot tajam. Selain itu, faktor lain yang
mempengaruhi UEFA untuk mengurangi jatah bermain bagi club-club Italia juga
berdasarkan kiprah tim-tim Italia di Liga Champions yang semakin lama tidak
mampu bersaing dengan club-club dari Inggris dan Jerman. Bahkan mereka sudah
“terlempar” dari ajang tersebut ketika berada di babak 16 besar.
Keberhasilan
Inter Milan menjadi juara Liga Champions pada tahun 2009 seolah menjadi titik
balik bagi perkembangan tim-tim Italia di Eropa, karena setelah itu, praktis
jatah tim-tim Italia yang diperbolehkan tampil di ajang Liga Champions
berkurang menjadi hanya 3 tim saja dan Italia harus rela bertukar tempat dengan
Jerman yang kemudian diberi jatah 4 tim.
2. tidak
adanya sosok pemain bintang
Terpuruknya
prestasi tim-tim Italia di kancah Eropa juga berimbas pada eksodusnya
pemain-pemain top Serie A ke liga-liga lain yang lebih mumpuni. Kita tentu
mengenal dengan nama-nama seperti Kaka, Ibrahimovic, Wesley Sneijder, Thiago
Silva yang sempat menjadi “alat tawar” Liga Italia dikancah kompetisi dunia.
Namun, setelah kepergian bintang-bintang
tersebut, liga Italia seolah kehilangan roh dan gairah kompetisi, karena
pemain-pemain baru yang datang tidak mampu mengangkat pamor tim, bahkan mereka
ikut tenggelam dengan performa club yang tidak juga membaik di kompetisi Eropa.
Sampai sejauh ini tidak ada club Italia yang
mampu membawa nama-nama tenar, kecuali Juventus yang memang tim paling “sehat’
di Italia, selebihnya club lain hanya mampu meminjam pemain yang tidak
dibutuhkan clubnya atau mendapatkannya secara gratis yang kini sedang menjadi “primadona”
di tubuh AC Milan.
3. kolepsnya
club-club besar
Krisis
ekonomi global beberapa tahun lalu rupanya menjadi faktor utama kemunduran liga
Italia. Ini sangat terlihat jelas dengan apa yang terjadi pada duo tetangga
Milan, Inter dan AC Milan yang menjadi korban “kekejaman” ekonomi dunia.
Sebelum krisis global melanda Eropa, duo
rival abadi ini terus berlomba tiap tahunnya, baik dalam perebutan gelar atau
hanya sekedar membeli pemain bintang nan mahal. Tapi, lihatlah mereka sekarang,
apa yang sedang menimpa kedua club ini tentu sangat menyedihkan, jangankan
merebut gelar juara, membeli pemain bintang pun mereka kesusahan, Milan yang
setahun belakangan ini starting elevennya hanya diisi oleh pemain-pemain
gratisan, sedangkan skuat Inter dihuni oleh pemain-pemain pinjaman yang tidak
terpakai jasanya di club asal.
4. kurangnya
persaingan di Liga Italia
Jika
di Spanyol kita hanya mengenal Barcelona dan Real Madrid yang silih berganti
bersaing memperebutkan gelar, maka yang terjadi di Italia lebih memprihatinkan
lagi, dalam empat tahun belakangan ini, Juventus praktis tidak menemui
kesulitan berarti dalam meraih Scudetto.
Meredupnya sinar duo Milan mampu dimanfaatkan
Juventus untuk menikmati singgasana
kompetisi selama empat tahun beruntun. AS Roma dan Napoli yang menjadi pesaing Juve
“dadakan” tak mampu meladeni perlawanan La
Vecchia Signora, bahkan mereka “terlihat kaget” menjadi pesaing Juve di
papan atas dan sering tampil inkonsisten
selama musim bergulir turut menjadi sumber utama kekuatan Juventus selama empat
musim kebelakang meraih Scudetto, bahkan sebelum liga melakoni laga penutupnya.
5. kurang
layaknya fasilitas stadion dan permasalahan lainnya
Seharusnya,
masalah seperti ini dialami oleh tim-tim yang memiliki kualitas liga yang buruk.
Tapi, inilah yang terjadi di Italia, cerita diawali ketika musim lalu Parma
yang sejatinya mendapatkan jatah bermain di Europa
League harus rela mengurungkan niatnya berkompetisi karena permasalahan
pajak yang tidak mampu di bayar pihak club, sehingga jatahnya di gantikan oleh
Torino yang berada tepat dibawah Parma di posisi 7. Belakangan terungkap fakta
bahwa club berjuluk Gialoblu ini
mengalami kebangkrutan dan sudah 6 bulan tidak menggaji pemain dan staf
pelatihnya.
Yang
terjadi pada Parma musim lalu sepertinya juga akan terjadi pada Genoa musim
ini. club yang bermarkas di Luigi Ferraris
tersebut hampir dipastikan tidak bisa mengikuti kompetisi Eropa musim depan,
dikarenakan tidak layaknya stadion mereka untuk menjalani pertandingan tingkat
Eropa. Bahkan “tetangga” mereka, Sambdoria harus rela menjadi “musafir” dengan
lebih memilih bermain di Sassoulo untuk beberapa pertandingan
Kisah
pilu Genoa ini juga hampir dialami Napoli beberapa musim lalu ketika mereka
berhasil lolos ke Liga Champions, stadion San Paolo yang terletak dikota Naples
ini di nilai tidak layak oleh UEFA sehingga harus membuat pihak club memutar
otak agar mereka tetap bisa bertanding di kandangnya sendiri, beruntung,
presiden Napoli Aurelio De Laurentis menyanggupi persyaratan UEFA dengan
“memodifikasi” stadion sehingga membuat mereka bisa berkiprah di Liga Champions
untuk pertama kalinya setelah berakhirnya era Diego Maradona.
6. club
tidak mempunyai stadion
Di
Italia terdapat beberapa stadion yang mampu menampung puluhan ribu massa, seperti San Siro, Olimpico Roma
dan Turin, Marc Antonio Bentegodi, San Paolo, dan lain-lain. Tapi percayalah,
tidak ada dari stadion-stadion megah itu yang di miliki oleh club penghuninya.
Ya,
seluruh stadion yang tersedia di Italia adalah milik pemerintah setempat dan
pihak club pun harus menyewa setiap pemakaian stadion. Sehingga, ketika club
ingin merenovasi stadion maka harus memiliki persetujuan pemerintah setempat
terlebih dahulu, club tidak bisa serta-merta merenovasi stadion tanpa
persetujuan pemda setempat.
Kasus
yang menimpa Genoa dan Sambdoria diatas bisa jadi diakibatkan karena pemerintah
Genoa tidak menyetujui renovasi stadion Luigi Ferraris yang ingin dilakukan
oleh pihak club. Sehingga masalah perizinan dari pemerintah setempat bisa
dikatakan mempunyai andil besar dalam perkembangan sepak bola Italia, karena
stadion-stadion yang biasa di pakai club harus “dikontrak” terlebih dulu ke pemda setempat.
Praktis,
hanya Juventus yang berani berinvestasi ratusan juta Euro untuk membangun
stadion baru nan modern. Dan mungkin, sebuah kebetulan pula Juve tidak pernah
berhenti merebut Scudetto selama bemain di Juventus Stadium.
7. kurangnya
animo penonton
Permainan
Catenaccio ala Italia yang menjadi khas tim-tim Italia memang cenderung
membosankan untuk bisa dinikmati, dan kebosanan yang kita rasakan ini pun
terlengkapi seiring keheningan yang terjadi di stadion, bukan karena para fans
enggan memberi semangat kepada timnya, tetapi lebih kepada kosongnya
bangku-bangku penonton yang tak dihuni oleh pendukungnya.
Hal ini nyatanya sangat bertolak belakang
dengan apa yang terjadi di sepak bola Inggris, Spanyol, Jerman, bahkan Belanda
sekalipun, yang tiap minggunya tribun-tribun penonton selalu di sesaki puluhan
ribu pasang mata yang ingin menyaksikan club kesayangannya bertanding.
Mungkin
hanya Juventus Stadium (lagi-lagi) saja yang selalu disesaki oleh para Juventini yang hadir langsung ke stadion,
selebihnya, stadion yang dihuni club-club besar semisal duo Milan, AC Milan dan
Inter Milan, atau dua Ibukota, AS Roma dan Lazio selalu nihil penghuninya. Bahkan
club-club semenjana yang memiliki stadion lebih kecil juga tidak mampu memenuhi
isi stadion “mini” tersebut.
Ada
beberapa hal yang mempengaruhi fakta menarik ini, salah satunya adalah
terpuruknya performa tim yang mereka banggakan, atau mungkin harga tiket yang
mahal juga bisa menjadi alasan fans enggan datang ke stadion karena rakyat
Italia sedang mengalami krisis ekonomi. Menurut catatan statistik, Liga Italia
menghasilkan penonton paling sedikit dibandingkan liga-liga top Eropa lain tiap
tahunnya, tercatat, rataan penonton yang datang tiap minggunya tidak pernah
melebihi 40 ribu penonton. Malah, San Siro yang mampu menampung lebih dari 85
ribu fans lebih, tiap minggunya hanya dihuni oleh 40 ribu Tifosi.
Beberapa
masalah yang terjadi diatas nyatanya bukanlah masalah yang baru muncul dua atau
tiga tahun yang lalu, tetapi bau masalah ini sudah tercium dari belasan tahun
lalu ketika Italia masih menjadi kompetisi wahid
Eropa. Namun sayang, kecilnya kesadaran dan tidak adanya perbaikan yang
dilakukan dari otoritas sepak bola Italia lah yang membuat “bau busuk” dari
masalah tersebut menjadi ancaman nyata pada saat ini dan membawa kompetisi
Serie A berada di titik terendah sepanjang sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar