Senin, 13 Februari 2017

Liverpool Sang Penyakitan

Sering saya menulis tentang Liverpool, baik sisi buruknya ataupun baiknya. Saya juga pernah berujar bahwa saya tak akan bosan menulis serba-serbi Liverpool, selayaknya Liverpool yang tak juga bosan menderita kekalahan di awal 2017 ini..

Anomali sepak bola memang tidak ada yang bisa menebak. Seperti AC Milan yang senasib sepenanggungan dengan Liverpool di Serie A, Inter Milan yang tiba-tiba merangsek ke empat besar setelah terperosok di posisi 15 pada oktober lalu, atau langsung cun-in nya Manolo Gabiadini, Mbaye Niang, dan Andrea Ranocchia di Inggris. Padahal mereka hanya pemain tak terpakai di Serie A.

Sebagai liga yang sukar ditebak, Premiere League benar-benar memainkan perannya sebagai raja php sejagad. Mengembalikan Leicester City pada khittahnya sebagai tim semenjana (setelah musim lalu menjadi juara) kini php EPL kembali memakan korban, yang sayangnya yaitu club favorit saya, Liverpool.

Menutup tahun 2016 dengan mantap setelah menjungkalkan Manchester City saat malam pergantian tahun, club kota pelabuhan kembali harus menerima takdirnya yang susah menang melawan tim kecil. Terakhir, The Reds takluk 2-0 melawan Hull City setelah sebelumnya dikandaskan Swansea City di Anfield. Menutup tahun di posisi kedua, kini Liverpool turun dua tangga ke posisi empat dan sepertinya hanya tinggal menunggu waktu posisi mereka digeser oleh duo Manchester yang terus meraih kemenangan.

Tentu ada beberapa hal yang menjadi penyebab anjloknya performa Liverpool di awal tahun ini. Awalnya kita sependapat, bahwa menepinya Philipe Coutinho akibat cedera panjang menjadi penyebab tunggal. Liverpool menjadi kehilangan pakem serangan yang biasa dikreasikan oleh Mane-Firmino-Coutinho. Ini pula yang “mengharuskan” Jurgen Klopp untuk bongkar muat lini serangnya dengan memainkan Divock Origi dan Sturridge secara bergantian. Yang sialnya, mereka pun tak juga menjadi solusi.

Menepinya Coutinho berpengaruh massif pada struktur permainan Liverpool. Firmino yang biasa ditempatkan sebagai false-nine harus rela berganti posisi dengan Adam Lallana di kanan atau kiri pertahanan lawan. Ketidaknyamanan Robby (sapaan akrab Firmino) tampak jelas ketika beberapa kali serangan yang ia bangun dengan mudah dipatahkan lawan, juga jumlah golnya yang makin seret sejak posisinya diganti.

Belum habis masalah lini serang, The Anfield Gank kembali dirundung masalah baru kala bek andalan, Joel Matip juga cedera. Hal ini diperparah dengan sikap sang pemain yang menolak membela Kamerun di piala Afrika dan membuatnya harus menerima hukuman FIFA. Ketidakhadiran Matip pula yang meninggalkan sedikit lubang di pertahanan "si merah" yang kembali mudah dibobol lewat situasi set piece atau umpan silang.
sumber: goal.com
Kesialan Liverpool semakin jadi saat Sadio Mane menjalankan tugas Negara di Gabon. Keberhasilan Senegal menembus semifinal semakin menambah luka Liverpool yang harus menunggu lebih lama. Pasca ditinggal Mane, The Reds semakin miskin kreativitas. Ini bisa dilihat kala mereka tidak pernah membobol jala lawan di atas dua gol. Lebih parah lagi, dengan keadaan seperti ini manajemen Liverpool enggan mendatangkan satu pun pemain baru saat jendela transfer Januari dibuka. Tentu ini menandakan krisis yang makin kronis di tubuh tim dan membuat manajemen semakin pragmatis saat laju Senegal terhenti di piala Afrika. Mane tidak diberi kesempatan istirahat satu hari pun ketika keesokan harinya ia dijemput menggunakan jet dan langsung mengikuti latihan penuh di Melwood.

Mane sudah kembali, Coutinho mulai bermain, Matip juga kembali dari pengasingan, dan Firmino secara otomatis kembali ke pos awalnya. Tapi Liverpool masih juga kalah. Ada beberapa catatan menarik dari beberapa pertandingan liverpool ke belakang. Yang paling terasa kita lihat adalah tidak adanya rencana B dalam formasi Klopp yang selalu deadlock di sepertiga area lawan dan sering kebingungan dalam mengganti pemain.

Klopp begitu keras kepala dengan apa yang ia anggap benar, yang sayangnya hasilnya tidak maksimal. Ketika Conte gagal dengan formasi diamond 4-3-2-1 di Chelsea, ia berani keluar dari zona nayaman dan kembali ke formasi andalan, 3-4-3 yang masih tabu di Inggris. Hasilnya? Chelsea semakin tak terbendung musim ini. Atau bagaimana Pocchetino yang menyontek formasi Conte dan mengaplikasikan itu dengan gayanya sendiri kala Spurs memberi Chelsea kekalahan pertama setelah 11 pertandingan menang beruntun.

Sementara Jurgen Klopp? Ia tak memiliki keberanian lebih seperti kompetitor yang lain dan terus memaksakan kehendak. Ini pula yang membuat permainan Liverpool mulai gampang ditebak lawan, dan yang terjadi kemudian adalah pemain Liverpool hanya bisa membolak-balikkan bola tanpa tujuan yang jelas karena lini pertahanan lawan sudah dipenuhi pemain yang siap mempertahankan gawangnya.

Seorang sahabat, sebut saja namanya Dedik Priyatno (yang juga seorang wota kawakan) bahkan sempat berseloroh saat merumuskan cara mengalahkan Liverpool “numpukin pemain di belakang, umpan lambung, serangan balik, gitu aja terus sampe kiamat.” Sebuah penerawangan dari seorang editor handal yang memang benar adanya. Dari semua hasil minor yang diraih Merseyside merah, penguasaan bola Liverpool nyatanya berada di atas rata-rata tim lawan, sialnya ini hanya menjadi remah rempeyek yang tak ada harganya kala gol yang diciptakan kalah banyak dari lawan.

Miskin kreativitas, jauhnya kualitas pemain inti dan cadangan semakin membuat Liverpool keteteran menjalani liga yang semakin ketat. Perlahan mereka tersingkir di ajang “penggembira” seperti piala liga dan piala FA. takluk di Anfield saat semifinal piala liga melawan Southampton dan dibenamkan Wolverhampton Wanderes di tempat yang sama. Satu persamaan lawan kala menghadapi Liverpool adalah menumpuknya pemain di ruangnya sendiri sehingga membuat serdadu Klopp kesulitan menembus gawang. Hal ini diperparah dengan kualitas bek "si merah" yang sering keteteran saat harus menerima serangan balik, yang memang dengan skema inilah Liverpool sering kebobolan.

meski begitu, perbaikan performa anak asuh Jurgen Klopp kembali terlihat kala mereka berhasil membenamkan Tottenham Hotspurs akhir minggu lalu. berhasil unggul cepat 2 gol di awal babak pertama menjadi bukti kembalinya daya magis skuat Liverpool yang belum pernah kalah melawan tim yang berada di 6 besar liga. Tapi sekali lagi, Tottenham bukanlah club yang bermain dengan negatif sepak bola. dan satu catatan penting adalah dua gol yang dicetak Sadio Mane berawal dari kesalahan pemain Spurs sendiri. ada baiknya Klopp dan pemain pantang jumawa dengan kemenangan tersebut mengingat minggu nanti The Reds akan bertamu ke King Power Stadium kandang Leicester City, club penyakitan lain yang siap menggebrak Liverpool lewat serangan balik cepat.

Nihilnya peran Liverpool di bursa transfer tengah musim semakin melukai fans yang kian geram melihat kondisi clubnya tanpa ada perbaikan dari segi pemain. Fans kembali diuji kesabarannya untuk ke entah berapa kali melihat kondisi club kesayangan yang tidak pernah ada niatan untuk mencegah suatu keburukan yang akan tejadi kemudian. 

Kita yang selama ini terpesona dengan semangat Klopp yang selalu menggebu-gebu semakin mencapai ambang batas kesabaran untuk – setidaknya – mengkritisi kinerja pelatih asal Jerman tersebut. Tidak ada alasan bagi kita untuk selalu memuja Klopp terlebih dengan capaian buruk Liverpool sepanjang tahun ini. Seperti halnya Klopp yang selalu menuntut dukungan tiada henti dari Kopites di stadion, kita juga wajib menuntut sang pelatih untuk lebih pintar dan bijak kala menentukan formasi dan sistem permainan agar tidak hanya menang dalam penguasaan bola saja.

Tuntutan Jurgen Klopp agar atmosfir Anfield selalu riuh sekali lagi mengingatkan kita pada pendahulunya, Brendan Rodgers yang juga selalu menuntut pemainnya untuk lebih berkarakter. Tuntutan-tuntutan yang baik tujuannya tapi gagal dalam pencapaian karena mereka yang menuntut juga tidak melakukan perubahan apa-apa.  
sumber: onsizzle.com
Satu hal yang harus disadari betul oleh Liverpool adalah 18 trofi liga Inggris mereka sudah setara dengan gelar Grand Slam ke 18 Roger Federer yang baru diraih januari lalu. Tentu tidak ada yang lebih memalukan ketika sebuah fakta baru terungkap jika trofi ke 18 The Reds diraih saat petenis asal Swiss itu masih berusia 7 tahun. Dan, kemungkinan lain yang lebih buruk adalah 18 gelar liga Liverpool bisa saja disamai, bahkan tidak menutup kemungkinan akan disalip oleh gelar sidang Ahok.








4 komentar:

  1. Dadah dadah dah liat liverpool. Jelek banget geraknya....

    BalasHapus
  2. seenggaknya, supporter liverpool itu sisi kesabaran dan kesetiaannya sudah teruji ya, hahaha. Semenjak liverpool gak masuk big 4 dan jarang UCL, kualitasnya emang nurun dratis baik dari pelatih maupun pemain.

    BalasHapus
  3. Kalem, masih bisa sombong, We won it five times :D

    BalasHapus
  4. Saya lebih dukung Arsenal. Juara!

    BalasHapus