Sering saya menulis tentang Liverpool , baik sisi buruknya ataupun baiknya. Saya juga
pernah berujar bahwa saya tak akan bosan menulis serba-serbi Liverpool,
selayaknya Liverpool yang tak juga bosan
menderita kekalahan di awal 2017 ini..
Anomali
sepak bola memang tidak ada yang bisa menebak. Seperti AC Milan yang senasib
sepenanggungan dengan Liverpool di Serie A, Inter Milan yang tiba-tiba
merangsek ke empat besar setelah terperosok di posisi 15 pada oktober lalu,
atau langsung cun-in nya Manolo
Gabiadini, Mbaye Niang, dan Andrea Ranocchia di Inggris. Padahal mereka hanya
pemain tak terpakai di Serie A.
Sebagai
liga yang sukar ditebak, Premiere League benar-benar memainkan perannya sebagai
raja php sejagad. Mengembalikan
Leicester City pada khittahnya sebagai tim semenjana (setelah musim lalu
menjadi juara) kini php EPL kembali
memakan korban, yang sayangnya yaitu club favorit saya, Liverpool.
Menutup
tahun 2016 dengan mantap setelah menjungkalkan Manchester City saat malam
pergantian tahun, club kota pelabuhan kembali harus menerima takdirnya yang
susah menang melawan tim kecil. Terakhir, The Reds
takluk 2-0 melawan Hull
City setelah sebelumnya
dikandaskan Swansea City di Anfield. Menutup tahun di posisi kedua, kini
Liverpool turun dua tangga ke posisi empat dan sepertinya hanya tinggal
menunggu waktu posisi mereka digeser oleh duo Manchester yang terus meraih kemenangan.
Tentu ada
beberapa hal yang menjadi penyebab anjloknya performa Liverpool di awal tahun
ini. Awalnya kita sependapat, bahwa menepinya Philipe Coutinho akibat cedera panjang menjadi penyebab tunggal. Liverpool menjadi kehilangan
pakem serangan yang biasa dikreasikan oleh Mane-Firmino-Coutinho. Ini pula yang
“mengharuskan” Jurgen Klopp untuk bongkar muat lini serangnya dengan memainkan
Divock Origi dan Sturridge secara bergantian. Yang sialnya, mereka pun tak juga menjadi solusi.
Menepinya Coutinho berpengaruh massif
pada struktur permainan Liverpool . Firmino
yang biasa ditempatkan sebagai false-nine
harus rela berganti posisi dengan Adam Lallana di kanan atau kiri pertahanan
lawan. Ketidaknyamanan Robby (sapaan akrab Firmino) tampak jelas ketika
beberapa kali serangan yang ia bangun dengan mudah dipatahkan lawan, juga
jumlah golnya yang makin seret sejak posisinya diganti.
Belum habis masalah lini serang, The
Anfield Gank kembali dirundung masalah baru kala bek andalan, Joel Matip juga cedera. Hal ini diperparah
dengan sikap sang pemain yang menolak membela Kamerun di piala Afrika dan
membuatnya harus menerima hukuman FIFA. Ketidakhadiran Matip pula yang
meninggalkan sedikit lubang di pertahanan "si merah" yang kembali mudah dibobol
lewat situasi set piece atau umpan silang.
sumber: goal.com |
Kesialan Liverpool semakin jadi saat Sadio
Mane menjalankan tugas Negara di Gabon. Keberhasilan Senegal
menembus semifinal semakin menambah luka Liverpool
yang harus menunggu lebih lama. Pasca ditinggal Mane, The Reds semakin miskin
kreativitas. Ini bisa dilihat kala mereka tidak pernah membobol jala lawan di
atas dua gol. Lebih parah lagi, dengan keadaan seperti ini manajemen Liverpool enggan mendatangkan satu pun pemain baru saat
jendela transfer Januari dibuka. Tentu ini menandakan krisis yang makin kronis
di tubuh tim dan membuat manajemen semakin pragmatis saat laju Senegal
terhenti di piala Afrika. Mane tidak diberi kesempatan istirahat satu hari pun
ketika keesokan harinya ia dijemput menggunakan jet dan langsung mengikuti
latihan penuh di Melwood.
Mane sudah
kembali, Coutinho mulai bermain, Matip juga kembali dari pengasingan, dan
Firmino secara otomatis kembali ke pos awalnya. Tapi Liverpool masih juga kalah. Ada beberapa catatan menarik dari
beberapa pertandingan liverpool ke belakang. Yang paling terasa kita lihat
adalah tidak adanya rencana B dalam formasi Klopp yang selalu deadlock di sepertiga area lawan dan sering kebingungan dalam mengganti pemain.
Klopp
begitu keras kepala dengan apa yang ia anggap benar, yang sayangnya hasilnya
tidak maksimal. Ketika Conte gagal dengan formasi diamond 4-3-2-1 di Chelsea,
ia berani keluar dari zona nayaman dan kembali ke formasi andalan, 3-4-3
yang masih tabu di Inggris. Hasilnya? Chelsea semakin tak terbendung musim ini.
Atau bagaimana Pocchetino yang menyontek formasi Conte dan mengaplikasikan itu
dengan gayanya sendiri kala Spurs memberi Chelsea kekalahan pertama setelah 11
pertandingan menang beruntun.
Sementara
Jurgen Klopp? Ia tak memiliki keberanian lebih seperti
kompetitor yang lain dan terus memaksakan kehendak. Ini pula yang membuat permainan Liverpool mulai
gampang ditebak lawan, dan yang terjadi kemudian adalah
pemain Liverpool hanya bisa membolak-balikkan bola tanpa tujuan yang jelas
karena lini pertahanan lawan sudah dipenuhi pemain yang siap mempertahankan
gawangnya.
Seorang
sahabat, sebut saja namanya Dedik Priyatno (yang juga seorang wota kawakan)
bahkan sempat berseloroh saat merumuskan cara mengalahkan Liverpool “numpukin pemain di belakang, umpan lambung,
serangan balik, gitu aja terus sampe kiamat.” Sebuah penerawangan dari
seorang editor handal yang memang benar adanya. Dari semua hasil minor yang
diraih Merseyside merah, penguasaan bola Liverpool nyatanya berada di atas
rata-rata tim lawan, sialnya ini hanya menjadi remah rempeyek yang tak ada harganya kala gol yang diciptakan kalah banyak dari
lawan.
Miskin kreativitas, jauhnya kualitas pemain
inti dan cadangan semakin membuat Liverpool
keteteran menjalani liga yang semakin ketat. Perlahan mereka tersingkir di
ajang “penggembira” seperti piala liga dan piala FA. takluk di Anfield saat
semifinal piala liga melawan Southampton dan dibenamkan Wolverhampton Wanderes di tempat yang sama. Satu
persamaan lawan kala menghadapi Liverpool
adalah menumpuknya pemain di ruangnya sendiri sehingga membuat serdadu Klopp
kesulitan menembus gawang. Hal ini diperparah dengan kualitas bek "si merah" yang
sering keteteran saat harus menerima serangan balik, yang memang dengan skema
inilah Liverpool sering kebobolan.
meski begitu, perbaikan performa anak asuh Jurgen Klopp kembali terlihat kala mereka berhasil membenamkan Tottenham Hotspurs akhir minggu lalu. berhasil unggul cepat 2 gol di awal babak pertama menjadi bukti kembalinya daya magis skuat Liverpool yang belum pernah kalah melawan tim yang berada di 6 besar liga. Tapi sekali lagi, Tottenham bukanlah club yang bermain dengan negatif sepak bola. dan satu catatan penting adalah dua gol yang dicetak Sadio Mane berawal dari kesalahan pemain Spurs sendiri. ada baiknya Klopp dan pemain pantang jumawa dengan kemenangan tersebut mengingat minggu nanti The Reds akan bertamu ke King Power Stadium kandang Leicester City, club penyakitan lain yang siap menggebrak Liverpool lewat serangan balik cepat.
meski begitu, perbaikan performa anak asuh Jurgen Klopp kembali terlihat kala mereka berhasil membenamkan Tottenham Hotspurs akhir minggu lalu. berhasil unggul cepat 2 gol di awal babak pertama menjadi bukti kembalinya daya magis skuat Liverpool yang belum pernah kalah melawan tim yang berada di 6 besar liga. Tapi sekali lagi, Tottenham bukanlah club yang bermain dengan negatif sepak bola. dan satu catatan penting adalah dua gol yang dicetak Sadio Mane berawal dari kesalahan pemain Spurs sendiri. ada baiknya Klopp dan pemain pantang jumawa dengan kemenangan tersebut mengingat minggu nanti The Reds akan bertamu ke King Power Stadium kandang Leicester City, club penyakitan lain yang siap menggebrak Liverpool lewat serangan balik cepat.
Nihilnya peran Liverpool
di bursa transfer tengah musim semakin melukai fans yang kian geram melihat
kondisi clubnya tanpa ada perbaikan dari segi pemain. Fans kembali diuji
kesabarannya untuk ke entah berapa kali melihat kondisi club kesayangan yang
tidak pernah ada niatan untuk mencegah suatu keburukan yang akan tejadi kemudian.
Kita yang selama ini terpesona dengan
semangat Klopp yang selalu menggebu-gebu semakin mencapai ambang batas
kesabaran untuk – setidaknya – mengkritisi kinerja pelatih asal Jerman
tersebut. Tidak ada alasan bagi kita untuk selalu memuja Klopp terlebih dengan
capaian buruk Liverpool sepanjang tahun ini.
Seperti halnya Klopp yang selalu menuntut dukungan tiada henti dari Kopites di
stadion, kita juga wajib menuntut sang pelatih untuk lebih pintar dan bijak
kala menentukan formasi dan sistem permainan agar tidak hanya menang dalam
penguasaan bola saja.
Tuntutan Jurgen Klopp agar atmosfir Anfield
selalu riuh sekali lagi mengingatkan kita pada pendahulunya, Brendan Rodgers
yang juga selalu menuntut pemainnya untuk lebih berkarakter. Tuntutan-tuntutan
yang baik tujuannya tapi gagal dalam pencapaian karena mereka yang menuntut
juga tidak melakukan perubahan apa-apa.
sumber: onsizzle.com |
Satu hal yang harus disadari betul oleh
Liverpool adalah 18 trofi liga Inggris mereka sudah setara dengan gelar Grand
Slam ke 18 Roger Federer yang baru diraih januari lalu. Tentu tidak ada yang
lebih memalukan ketika sebuah fakta baru terungkap jika trofi ke 18 The Reds
diraih saat petenis asal Swiss itu masih berusia 7 tahun. Dan, kemungkinan lain
yang lebih buruk adalah 18 gelar liga Liverpool
bisa saja disamai, bahkan tidak menutup kemungkinan akan disalip oleh gelar
sidang Ahok.
Dadah dadah dah liat liverpool. Jelek banget geraknya....
BalasHapusseenggaknya, supporter liverpool itu sisi kesabaran dan kesetiaannya sudah teruji ya, hahaha. Semenjak liverpool gak masuk big 4 dan jarang UCL, kualitasnya emang nurun dratis baik dari pelatih maupun pemain.
BalasHapusKalem, masih bisa sombong, We won it five times :D
BalasHapusSaya lebih dukung Arsenal. Juara!
BalasHapus