Lelahkah kita dengan
gonjang-ganjing pilkada yang – mungkin bahkan – tuhan pun tak tahu kapan
selesainya? Twitter, Facebook selalu membombardir kita lewat mereka yang
katanya relawan masing-masing jagoan dengan kedegilannya masing-masing.
sumber: bbc.com |
Mereka pula yang selama ini
menyuramkan penglihatan kita akan kebenaran yang hakiki. Menuduh yang satu
menggunakan ayat tuhan untuk kepentingan politiknya. Padahal, ia pun memperkuat argumen
pembelaan juga dengan ayat tuhan. Memperdagangkan firman tuhan sesuai
kepentingan dengan tafsir berbeda memang sudah menjadi komoditas nasional (
meski yang satu menolak dianggap sebagai pengobral ayat suci al’quran). Dalam
sekejap mata, negeri kita penuh sesak dengan ahli tafsir.
Ahmad Sahal, misalnya. Penduduk
twitter mana yang tak tahu ustadz satu ini. sekolah tinggi nan jauh hingga ke
Pennsylvania, AS sana, beliau kini sibuk membenarkan akhlak orang-orang
yang menurutnya radikal dan menjadi cerobong ISIS – yang lagi-lagi menurut
beliau – akan membawa Indonesia ke gerbang kehancuran, hanya karena berbeda
pilihan.
Saya tidak begitu mengenal Ahmad
Sahal dan saya pastikan dia juga tidak kenal saya, saya hanya orang yang
dulu sempat menikmati tausiyah beliau di Twitter tentang toleransi dan
keberagaman. Bahasanya yang sederhana tapi bermakna cukup dalam makin membuat
saya betah berlama-lama baca cuitan Ahmad Sahal. Pengetahuannya tentang sejarah
Islam lintas zaman semakin membuat saya belajar banyak tentang peradaban Islam di
masa lalu. Ia pun cukup pintar menjawab pertanyaan netizen yang tetap setia di
jalur agama, tanpa tedeng aling-aling pilkada.
Berbicara politik kita selalu
berbicara tentang kepentingan dan hawa nafsu, baik itu pribadi ataupun
golongan. Kepentingan politik pula yang sedang kita alami kala dihadapkan oleh
dua reklamasi, Bali dan Jakarta. Ketika dua kota penting Indonesia yang
sebenarnya berjauhan ini dirundung masalah yang sama. Band Superman Is Dead
berhasil mengumpulkan jutaan orang untuk menolak reklamasi Tanjung Benoa.
Termasuk kita yang di Jakarta ikut teriak satu suara.
Kepekaan kita pada Bali hilang
tak berjejak saat ibukota negara diancam isu yang sama. Bahkan Superman Is Dead
yang vocal ikut terdiam. Berharap
Slank yang bersuara? Duh gusti, maafkan kebodohan saya ini. Kita di Jakarta
berkeyakinan bahwa reklamasi di Bali beda peruntukannya dengan Jakarta. Padahal
sama-sama reklamasi, sama-sama men-darat-kan lautan (ibukota). celakanya, ketika ditanya apa yang membedakan dua reklamasi ini, tidak ada yang bisa menjawab.
Kita mengagungkan mereka yang
menentang laut dewata berubah fungsi alamaiahnya dengan kemungkinan buruk yang
kelak terjadi. Sementara di Jakarta? Tidak ada yang lebih agung selain berteman
sesama mereka sambil berseloroh primitif pada orang-orang menentang laut
ibukota yang tengah diambang perubahan wujudnya.
Beberapa tahun ini, nafsu politik
telah menjatuhkan harga diri kita hingga titik paling nadir. Hancurnya
pertemanan karena yang satu mempermasalahkan agama dan yang satu tidak,
menabikan sosok petahana dan yang satu tidak, mengkritik keras yang berlawanan
dengan kita sementara yang satu tidak. Semua itu kita lakukan dari hal paling
dasar hingga pada titik yang sebenarnya di luar jangkauan. Tapi kita tetap
memaksakan diri untuk melakukan itu hanya demi dia yang kita tuan-agungkan.
Lihat apa yang terjadi pada trah Soekarna sekarang, ketika putri yang satu lalu-lalang
berdampingan dengan presiden, sementara putri lainnya diburu aparat karena
diduga ingin menjatuhkan presiden.
Si putri yang bergerilya tentu
tak sendiri. Bersama beberapa kolega ia ditangkap tepat di hari bersejarah,
212. Kita tentu anti dengan tindakan represif seperti penangkapan yang hanya
bermodal “diduga”. Sialnya, beberapa dari kita ikut bersuka saat Ratna
Sarumpaet, Ahmad Dhani, Rahmawati Soekarnoputri, Sri Bintang, dan lainnya
dibawa ke polda metro jaya bahkan saat matahari belum menampakkan diri, selayaknya
tentara yang gembira kala menyeret Wiji Thukul dan kawan-kawannya ditangkap
dengan tuduhan yang sama.
Ya, kita lupa dengan apa yang
dulu sempat kita lawan. Kita lupa jika dulu kita pernah bicara “TIDAK” dan
sekarang kita hanya bisa bilang “IYA” pada si penguasa. Suka atau tidak, Susilo
Bambang Yudhoyono tak pernah sekalipun menangkap Fadjroel Rachman yang ketika
itu itu lantang bersuara ingin menjatuhkan SBY dan sempat ingin mengkudetanya dari
kursi presiden. Fadjroel yang mempunyai kekuatan media saja tidak pernah
disentil SBY, kenapa sekarang kita begitu takut dengan orang-orang macam Ahmad
Dhani dan Ratna Sarumpaet yang tidak memiliki kekuatan apa-apa?
Kepentingan dan hawa nafsu pula
yang tampaknya membuat Ahmad Sahal kehilangan nalar ilmiahnya. Kini, ia hanya
peduli pada akhlak umat yang tidak memilih calon yang sama dengannya. Toleransi
yang ia junjung memang masih menjadi senjata andalan, namun tak jarang, apa
yang ia katakan melampaui batas pembahasan yang sedang dikaji. Seperti saat ia
menyerang Pandji Pragiwaksono yang berlawanan pilihan dengannya.
Gus Sahal (setidaknya itu sapaan
netizen padanya) dengan yakin mempertanyakan komitmen idolanya Pandji yang hanya
menyambangi FPI tapi tidak berani mendatangi kaum minoritas lainnya seperti
Syiah, Ahmadiyah, dan….LGBT. seperti yang kita ketahui, kaum Syiah yang sempat
bermasalah terjadi di Sampang, Madura. Bukan Jakarta. Sementara Ahmadiyah juga
sempat geger di Bogor. Bukan Jakarta.
sementara kita sedang berbicara pilkada Jakarta, bukan daerah lainnya.
Sementara LGBT? Saya gantian bertanya, apakah orang yang sudah banyak
menafsirkan hadist dan beberapa ayat Al’quran ini pro LGBT?
Ahmad Sahal juga sepertinya hanya
menaruh perhatian pada orang-orang yang sepaham pilihan dengannya atau yang
berseberangan sekalian agar bisa ia ceramahi dan meng-ISIS-kan mereka.
Sementara saya, siapa sih saya? Tak pernah sekalipun mention saya dibalas beliau. Yang menyakitkan hati adalah ketika
beliau bercuit “menyerahkan kasus Ahok
pada proses hukum=menerima apapun keputusan hukum.
Kalo Ahok diputus nggak salah, ya jangan ngancam-ngancam dan ngamuk-ngamuk,”
sebuah pernyataan tendesius, menurut saya. “menerima apapun keputusan hukum”
tapi mengapa hanya “kalo Ahok diputus nggak bersalah” saja yang ia pertanyakan?
Ini pula yang membuat saya
tertawa geli membacanya sekaligus membalikkan pertanyaan Gus Sahal “kalo misal, misal lho ya. Ahok diputus
bersalah, gimana?,” sudah barang tentu beliau tak sanggup menerima
kenyataan itu dan tak mampu untuk tidak ngamuk-ngamuk di linimasa. hingga kini, pertanyaan sederhana itu pun urung ia jawab.
Seberapa hebatkah pemimpin
sekarang sehingga tiap kesalahan yang ia perbuat terasa berat untuk kita
kritisi? Seberapa manusiawi kah pemimpin kita, sehingga tiap dalam ketidaktahuan
kebijakan yang dibuat kita ikut lupa pada sebuah kesalahan fatal? Seberapa
besarkan pemimpin kita, sehingga apa yang ia ucap menjadi kebenaran bagi kita
semua? Seberapa pintarkah pemimpin kita, sehingga semua kebijakan yang diambil
kita yakini seakan datang dari tuhan? Yang kemudian menuduh mereka yang tak
sepaham sebagai kumpulan orang radikal, curut ISIS, otak (nanah) sesat, dan
melenceng dari ajaran tuhan yang penuh cinta? Dan, seberapa sucinya pemimpin
kita sehingga kita rela hancur oleh adu domba, akibat ketamakan mereka?
Untuk menjadi objektif saja, kita
harus menjadi bagian dari mereka. Sedikit saja melenceng, bersiap diserbu oleh
teman-temannya. Seperti Ulil Abshar Abdalla yang langsung dihardik “duh, mas Ulil kok udah nggak objektif lagi
ya? Udah beda sekarang. Mas Ulil punya kepentingan ya sekarang? Oh iya, partainya
kan punya calon juga,” saat Ulil baru sekali saja mengkritisi calon
petahana.
Saya bukanlah pembenci petahana.
Saya justru memilih petahana untuk kembali duduk di balai kota, sekalipun saya
bukan warganya. Saya hanya pembenci sebagian dari kita yang selalu mendewakan penguasa
dan membutakan mata kita, membisukan suara kita, menulikan pendengaran kita
pada sebuah kebenaran lain yang terjadi dihadapan kita.
Sadarkah kita jika tiap
kontroversi yang selalu ia cipta berbuah dari kebodohan kita yang selalu membela?
Ia tak pernah belajar dari apa yang selama ini dia ucap karena selalu ada kita
yang membela mati-matian tanpa sekalipun mengkritisi apa yang dia buat? Ingat,
seburuk-buruknya pemimpin akan baik pula jika dalam tiap perbuatannya selalu
kita ingatkan dan kita kritisi. Sebaliknya, sebaik apapun pemimpin, ia akan
menjadi buruk jika dalam tiap tindak-tanduknya selalu kita bela, sekalipun itu
salah. Sehingga membuat dia bisa berbuat seenaknya karena banyak dari kita yang
akan rela menerima kesalahannya.
Konsisten itu mahal Jenderal :-D
BalasHapusNice post.
BalasHapusWalau kurang suka "POLITIK", namun aku menikmati tulisa ini.
Mantapp.
Makasih mas :)
HapusSuka banget sama tulisan ini. Tapi speechless mau komen apa.
BalasHapusYang aku tahu, kalau siap menerima keputusan apa pun, ya keputusan apa pun yang mungkin terjadi (bersalah atau tidak) ya harus diterima lapang dada. Ini berlaku buat semua pihak. Terlepas dari benarkah hasil akhirnya itu adil atau tidak
Makasih mba Dian. Hehehe
HapusSemoga semua Masih punya akal sehat dukung jagoannya massing masing hehe
Saya juga agak gerah dan mulai bosan dengan segala riuh yang ada di lini masa. Semua bertahan dengan keyakinannya masing-masing, hingga bisa memutuskan tali pertemanan.
BalasHapusSebagai masyarakat, saya mah hanya berharap, yang benar ditunjukkan kebenarannya, dan yang salah ditunjukkan kesalahannya #eh, apasih :)
Kerasa banget.
BalasHapusMendadak semua jadi ahli politik dan ahli agama.
Dengan berpihak pada salah satunya dan menyalahkan pihak yang lain, maka akan semakin terlihat..."Orang macam apa saya ini?"
Saya cukup berbicara seperlunya.
Dan hanya berkata apa yang saya kuasai.
Semoga budaya sabar ini diajarkan dari lingkup terkecil.
(sabar = menahan diri)
Amiin :)
HapusPostingannya menarik, Mas. Emang, nyebelin ya, semua kubu pada bersikap defensif tapi nyerang juga. Ga ada yg terkecuali.
BalasHapusIya mba. Susah emang Kalo udah ngerasa paling bener Dan ngejelekin yg lain
HapusBosan juga dengan pemberitaan politik. Dulu saya suka siaran televisi tentang berita, sekarang mah ... ogah banget.
BalasHapusSamaa mas. Saya pun udah jarang nonton berita. Karena ragu dengan objektivitasnya
HapusYg jelas saya menahan diri utk tidak mudah percaya maupun terprovokasi dgn keriuhan politik. Lama2 sedih liat kondisi saat ini, inget2 nasib anak cucu kelak gmn, moga lbh baik aamiin
BalasHapusSemoga urusan pilkada ini cepet selesai dan dapat pemimpin yang amanah
BalasHapusaku dah lelah liat perang di socmed
Iya mas, aku pun. Entah merekanya yang butuh piknik, apa kitanya yg butuh piknik biar nggak mikirin pulitik
BalasHapusNice post, gan...
BalasHapus*mencoba nyepam*
Bole qaqa sepamnya qaqa
Hapussetakat ini saya menjauhi politik mas.. karena hanya karena beda pilihan saja, suami-istri bisa renggang.. dan sejauh saya membaca.. yg ada makin pecah belah saja bangsa ini :(
BalasHapusBaca tulisan ini, Jadi ingat pilkades di kampung saya +/- setahun lalu masih menyisakan kebencian antar warga hingga saat ini. Mirisss banget
BalasHapusMau ngomong berbusa, aku jg gak milih di Jakarta. Dan heran bgt knapa itu dua putri gak satu jalan ya. Apa dulu ada semacam persaingan? Semoga pemilihan nanti kita bs memilih org yg lbh baik
BalasHapusPostingannya seperti rangkuman berita politik bg sy yg kudet tentang politik. Semoga kita ke depannya tdk lg mudah terbelah hanya karena pilihan yg berbeda.
BalasHapusSaya cukup mengikuti aja deh apa maunya negeri ini. Mudah2an lebih baik lagi.
BalasHapusDan kita menjadi sibuk tak karuan dengan perebutan kekuasaan. Saat hawa nafsu jadi motivasi,alquran pun rela diletakan di belakang.ditafsirkan sesuai kehendak hati
BalasHapusKarena gerah dengan pembahasan calon ini calon itu, lama-lama politik ini jadi sampah timeline. #eh
BalasHapuspolitik ane tak terlalu suka, yang baik jadi buruk, begitu pun sebaliknya, hehehe. tapi bagaimana pun kita harus tahu tentang politik
BalasHapusWell, kebanyakan dari kita hanya menyetujui dan mendukung terhadap apa yang kita 'sukai' aja. Kaya misalnya gue bilang liverpool itu sampah, calon degradasi, lu pasti ga setuju.
BalasHapusGw tetep bilang Liverpool bapuk Kalo kalah atau mainnya lagi jelek. Gw ga tutup Mata hal itu. Masalahnya Politik ini (khususnya pilkada) mereka menjilatnya kebangetan, nggak wajar.
Hapus