Apa jadinya
jika dunia ini tidak mengenal sepak bola? Tentu hidup tak akan seindah seperti
sekarang ini, yang mana sepak bola ada dimana-mana, ia selalu mengitari kita
melalui sendi-sendi kehidupan yang kita rasakan. Seperti halnya dengan musik,
hidup tak akan berwarna tanpa adanya sepak bola.
Sebagai
permainan kesebelasan, sepak bola tidak hanya mengajarkan kita cara bermain
indah dengan skill menawan, tetapi, sepak bola telah menggurui kita bagaimana
memahami orang lain dengan karakter yang berbeda-beda. Artinya, “ke-alien-an”
Lionel Messi tak kan berarti apa-apa tanpa sepuluh pemain Barcelona lainnya,
atau Roman Abrahamovic yang hanya akan dikenal sebagai milyarder tanpa prestasi
membanggakan jika tak ada skuat mumpuni Chelsea. Sepak bola adalah olahraga
dengan tingkat ketergantungan paling tinggi antar sesamanya, tak ada satupun
pemain hebat yang bertahan hidup sendirian jika bukan karena andil pemain
lainnya.
Emmanuel
Adebayor, dan Carlos Bacca adalah contoh kecil yang hidupnya diselamatkan oleh
sepak bola. Sebelum bersinar bersama Sevilla, siapa yang mengetahui jika
dulunya Bacca hanyalah seorang kondektur bus dikampung halamannya, Kolombia. Atau
kisah tragis yang menimpa Adebayor di masa lalunya, sebelum namanya melambung bersama
AS Monaco, ia hidup dibawah siksaan, hingga ancaman pembunuhan yang selalu
membayangi hidupnya. Ironisnya, hal tersebut tersebut bukan datang dari orang
lain,melainkan dari keluarga yang amat ia cintai, mulai dari adik, kakak, hingga
sang ibu nya sendiri.
Pernah pada suatu ketika ia terbangun dari tidurnya, ia dihadapkan dengan sepucuk pistol dari kakak kandung yang akan menembaknya jika tak memberi sejumlah uang kepada saudaranya tersebut, sampai sekarang pun hidupnya masih dihantui perasaan yang sama dengan sebelumnya. Apa jadinya kedua orang hebat ini jika tak mengenal sepak bola, hidup mereka telah diselamatkan oleh sepak bola, baik secara langsung,maupun tak langsung. Mungkin sekarang kita sudah menangisi kepergian Adebayor yang bisa saja dibunuh oleh saudaranya, jika bukan karena “tertolong” oleh sepak bola.
Pernah pada suatu ketika ia terbangun dari tidurnya, ia dihadapkan dengan sepucuk pistol dari kakak kandung yang akan menembaknya jika tak memberi sejumlah uang kepada saudaranya tersebut, sampai sekarang pun hidupnya masih dihantui perasaan yang sama dengan sebelumnya. Apa jadinya kedua orang hebat ini jika tak mengenal sepak bola, hidup mereka telah diselamatkan oleh sepak bola, baik secara langsung,maupun tak langsung. Mungkin sekarang kita sudah menangisi kepergian Adebayor yang bisa saja dibunuh oleh saudaranya, jika bukan karena “tertolong” oleh sepak bola.
Sepak bola
adalah panggilan jiwa, sekalipun mereka bukanlah pelakunya, bukan pemain bola
tidak berarti kita tidak memahami sepak bola, sepak bola bukan hanya permainan
yang wajib bisa dimainkan, lebih dari itu, sepak bola harus didalami lebih jauh
agar kita bisa mencintainya. Bagi para pelakunya, sepak bola bagai candu yang tak mengenal angka, meski tak
pernah bermain di level atas sekalipun, atau kasarnya kita menyebut hanya
bermain level tarkam, sepak bola selalu menyulutkan kegirangan tiada akhir,
karena ia memang tumbuh dari hiburan rakyat jelata.
Kemunculan
penulis-penulis sepak bola handal menjadi wujud nyata bagaimana sepak bola
begitu mudah dicintai, begitu lentur untuk didalami. Mereka tidak dilatar
belakangi sebagai pesepak bola, mungkin, menendang bola pun belum pernah mereka
lakukan, akan tetapi, pengetahuan mereka akan sepak bola bisa mengalahkan
pemain bola sebenarnya, karena pesepak bola hanya mengerti cara bermain,
taktik, dan semua yang terjadi dilapangan.
Namun, penulis bola yang ( lagi-lagi ) mungkin tidak pernah menendang bola ini mengetahui sepak bola dari segala sisinya, pemain yang memiliki kelebihan dan kekurangan, luar dan dalam lapangan, juga isinya, hingga sejarah yang menaungi sepak bola secara menyeluruh. Semua memang sudah tertanam dalam jiwa mereka yang begitu mencintai sepak bola hingga mengalahkan cinta pada pasangan, bahkan tanpa sungkan mereka menganggap sepak bola lah pasangan hidupnya.
Namun, penulis bola yang ( lagi-lagi ) mungkin tidak pernah menendang bola ini mengetahui sepak bola dari segala sisinya, pemain yang memiliki kelebihan dan kekurangan, luar dan dalam lapangan, juga isinya, hingga sejarah yang menaungi sepak bola secara menyeluruh. Semua memang sudah tertanam dalam jiwa mereka yang begitu mencintai sepak bola hingga mengalahkan cinta pada pasangan, bahkan tanpa sungkan mereka menganggap sepak bola lah pasangan hidupnya.
Terry
Eagletton, seorang sastrawan Marxis, pernah menulis esai yang berjudul
“Football: A Dear Friend To Capitalism”. Ia menyebut sepak bola sebagai candu
bagi rakyat ( plesetan dari ucapan Karl
Mark “candu bagi rakyat” ). “Tiap kali politisi sayap kanan berusaha
mengalihkan perhatian rakyat dari ketidakadilan politik dan ekonomi, solusinya
selalu sama, yakni sepak bola.” Tulis Eagletton. Setidaknya itu pula yang pernah
dirasakan rakyat Argentina selama rezim kediktatoran Jorge Videla, dengan
menjadikan sepak bola sebagai pengalih perhatian rakyat yang menderita dengan
keberhasilan Argentina menjuarai piala dunia 1978 di “rumahnya sendiri”.
Mengalihkan
perhatian, rasa-rasanya itu juga yang sempat terjadi di Indonesia, tentu
kasusnya berbeda dengan apa yang sempat melanda Argentina. Tepatnya pada tahun
1998, saat dunia sedang gembira menyambut piala dunia Perancis, ditanah air,
rakyat sedang gundah gulana akibat kerusuhan yang melanda Jakarta untuk
menuntut Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai pemimpin negeri.
Gelaran piala dunia 1998 dimulai hanya selang 20 hari dari lengsernya Soeharto, setelah pekan-pekan panjang yang penuh dengan berita panas, rusuh, lesunya ekonomi yang mengharu-biru, piala dunia hadir disaat yang “tepat”, ia mendinginkan sejenak tempo panasnya atmosfir politik tanah air. Halaman muka surat kabar sedikit lebih berwarna dari pekan-pekan sebelumnya karena berita-berita seputar piala dunia 1998 yang mengambil porsi lebih banyak sebagai headline media ketimbang keadaan Indonesia yang masih dalam masa transisi.
Gelaran piala dunia 1998 dimulai hanya selang 20 hari dari lengsernya Soeharto, setelah pekan-pekan panjang yang penuh dengan berita panas, rusuh, lesunya ekonomi yang mengharu-biru, piala dunia hadir disaat yang “tepat”, ia mendinginkan sejenak tempo panasnya atmosfir politik tanah air. Halaman muka surat kabar sedikit lebih berwarna dari pekan-pekan sebelumnya karena berita-berita seputar piala dunia 1998 yang mengambil porsi lebih banyak sebagai headline media ketimbang keadaan Indonesia yang masih dalam masa transisi.
Seperti
halnya cinta akan sesama manusia, sepak bola juga memberikan kita ke-galau-an
yang dipersembahkan bagi para pecintanya saat berakhir kompetisi dan memasuki
istirahat panjang selama kurang lebih dua bulan lamanya. tak adanya kompetisi
dalam lapangan bukan berarti sepak bola kering kompetisi diluar lapangan. Club,
pemain, fans diajak berkompetisi di meja perundingan untuk mendapatkan pemain
incaran, kita semua dihadapkan dengan kompetisi yang tak kalah mendebarkan dari
dalam riuhnya stadion ke “sikut menyikut” para club peminat untuk mendapatkan
tanda tangan pemain incaran yang jadi rebutan. Tidak bisa tidak, sepak bola
memang tak pernah memberikan jeda, jika pun menyuguhkan jeda, sepak bola lah
yang menjadi jeda itu sendiri.
Sejatinya,
sepak bola adalah olahraga dua arah antara “produsen” dan “konsumen” yang
sama-sama menguntungkan, walau terkadang merugikan, tapi kita tak bisa berbuat
apa-apa karenanya, karena sepak bola sudah merasuk di jiwa, bahkan sudah
menetap didalamnya.
Izinkan saya
menutup tulisan ini dengan meminjam tulisan Zen RS, “sepak bola memang candu,
dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin disembuhkan dari candu
bernama sepak bola. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal
sepak bola ini, maka banyak yang rela tetap menjadi salah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar