Jauh dari hingar bingar
kota besar dengan lalu lintas padat berpayungkan gedung tinggi menjulang tak
membuat kami berkecil hati akan hal itu. Ketika kota-kota besar dipadatkan
dengan segala jenis kendaraan yang berhimpitan dengan gedung tinggi di kiri dan
kanan, desa kami jauh dari hal semacam itu, tetapi kami dikaruniai lapangan
sepak bola luas nan lebar tanpa ada satu gedung pun yang mampu menghimpitnya.
Ia di payungi oleh kedua tiang gawang tua yang tetap kokoh dikedua sisi yang
berseberangan tanpa jaring yang menyelimuti. Inilah desa kami, lapangan sepak
bola kami.
Lapangan hijau yang
sejatinya bisa dibagi menjadi dua ini menjadi saksi bisu lambang kebahagiaan
kami beserta anak lainnya yang tersebar di desa Cot Girek, Aceh Utara. Tak ada
senja yang terlewatkan tanpa keberadaan anak-anak sekitar yang mengasah
talentanya bermain bola, dan bukan saja anak kecil, mereka yang sudah dewasa
pun masih sering menggiring bola dilapangan ini. Ya, lapangan kami memang tak
mengenal usia, ia juga tak punya waktu untuk menentukan siapa yang pantas
bermain di rumputnya. Atas nama sepak bola, ia membebaskan semua orang untuk
bermain bola ditanahnya sendiri, tanpa biaya, tak ada pengecualian.
Tiap sore menjelang,
sekitaran pukul empat atau lima, kami berbondong-bondong menuju “surga” itu,
melepas penat setelah seharian belajar di sekolah, bertemu rekan sejawat
bermain bersama, tertawa bahagia bersama bola adalah keseharian yang tak pernah
terlewatkan. Tiada yang mampu menghentikan kami bermain kecuali seruan adzan
Maghrib sebagai lonceng berakhirnya pertandingan dan memulai ibadah agar tetap
dekat dengan maha pencipta, mensyukuri karunia yang ia berikan, menjaga
lapangan yang telah diciptakan.
Mempunyai lapangan yang
amat besar, kami yang bisa dikatakan masih kecil tentunya tak begitu sanggup
jika harus bermain lapangan yang “sebenarnya”, antar tiang tua sebagai tujuan
gawangnya, oleh karena itu pula, kami membuat gawang baru, gawang yang
kira-kira cocok, setara dengan kemampuan yang kami punya, seimbang dengan
jumlah pemainnya. Bukan dari tiang baru nan muda yang kuat, melainkan dari
kumpulan sandal yang kami tumpuk menjadi satu kesatuan untuk dijadikan gawang,
walau tak kokoh tapi cukup menjadi tanda masuknya bola atau tidak, sekalipun
tak bertiang, tapi dengan “tiang” ini mampu membentuk kami menjadi pemain yang
adil dalam menentukan gol atau tidak, walau tak jarang kami memaksakan gol
menjadi tidak gol, tidak gol menjadi gol. Maklumkan saja, untuk kegembiraan
bersama kami bergantian melakukan itu. Ketika bola menghantam “tiang” buatan
itu, sandal-sandal tersebut pun terpental seketika dan membuat kami
menghimpunnya kembali agar menjadi gawang seperti sebelumnya.
Jika kita mengenal
ungkapan “tidak ada yang tidak mungkin”, maka kami pun memegang teguh ungkapan
tersebut. Hujan yang terkadang turun tak menyurutkan semangat kami dalam
bermain bola, lapangan yang begitu luas seakan tak membiarkan kami
meninggalkannya basah sendirian dalam amukan air dari sang pencipta, hati serta
kaki pun seolah tak ingin berpisah dengan lapangan yang telah dibasahi hujan.
Deras atau tidaknya hujan tak ada beda bagi kami pemain desa yang memang
membutuhkan sentuhan ajaib dari langit. Lapangan yang becek menjadi daya tarik
tersendiri bagi kami para penikmat sepak bola, dengan leluasa setiap pemain mampu
berimprovisasi dilapangan, mulai dari sliding
tekel ala Gattuso yang sekaligus menyapu
air dirumput basah, hingga selebrasi meluncur dipermukaan tanah ala pemain Eropa yang girang pasca
mencetak gol kemenangan.
Namun masalah yang muncul kemudian adalah
sekujur tubuh yang dihinggapi lintah yang menempel, menghisap darah sedikit
demi sedikit dan membuat kami harus membersihkan tubuh lebih lama dari biasanya,
belum lagi masalah dengan orang tua masing-masing yang gempar hatinya melihat
anak-anaknya kembali kerumah dengan keadaan lusuh bermandikan lumpur lapangan
yang dihujani air.
Setiap sorenya, lapangan
terbagi menjadi tiga bagian, dan terbelah menjadi tiga pertandingan pula. Saya
beserta kawan memakai lapangan di sisi barat dan mereka dari desa sebelah
menggunakan lapangan bagian timur dan utara, semua kami bagi secara merata. Sedikit
ironis, karena dari tiga lapangan yang digunakan, tetapi tak ada satu pun dari
kami yang memanfaatkan tiang gawang tua yang makin kecoklatan warnanya akibat
karatan yang mendera, ia seolah melihat kami bermain dengan seksama, memantau
kami hari demi hari agar kemudian kami benar-benar mampu untuk memasukkan bola
ke jalanya yang semakin menua.
Jika dalam setiap
permainan ada yang menang dan kalah, kami pun menerapkan hal itu, akan tetapi
kami tak merasa cukup dengan “label” tersebut, sehingga kami menambah satu “label”
lagi, yaitu hukuman. Ya, bagi yang kalah akan dikenai hukuman dengan masuk
kolong mereka yang menang. Pemain yang menang akan berbaris sejajar sembari membentangkan
kedua kaki yang kemudian akan dimasuki oleh mereka yang kalah, dan biasanya bukan
satu kali, melainkan tiga atau lima kali masuk untuk setiap pemain. Bayangkan,
jika dalam satu tim terdapat delapan orang, maka kita harus “merangkak” melewati
delapan orang sejajar dibawah kakinya. Menarik bukan!!!...
Umur yang semakin
bertambah, tingkat pendidikan yang semakin tinggi, membuat kami harus rela
berpisah dengan lapangan sepak bola kesayangan, satu persatu dari kami
berpencar untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, lapangan dengan tiang gawang
tua itu tak kuasa menahan kepergian kami, karena ia yakin, pada waktunya nanti
kami akan kembali bermain, bersenang-senang dengan rumputnya yang bergelombang.
Tapi, dia tidak pernah sendiri disana, dia tetap menjadi tempat idaman generasi
selanjutnya untuk bermain bola, berbagi kisah, bermandikan hujan bersamanya.
Anak-anak desa tak kan rela membiarkannya sendiri menghadapi dinginnya hujan
dan terik matahari, begitupula dengan lapangan sepak bola kami yang tidak akan sanggup
melihat anak-anak kehilangan tempat bermainnya, tempat dimana mereka menemukan
bakat dan menjadi pemain bola seutuhnya.
Sungguh bahagia mereka
yang masih menetap di desa karena masih punya cukup waktu untuk bermain bola,
dan yang terpenting, mereka masih punya lapangan sepak bola yang besar yang
bisa dinikmati semua warganya. sementara di kota, kita telah kehilangan cukup
banyak lapangan sepak bola yang satu persatu di alih fungsikan menjadi gedung
atau infrastruktur lainnya. Kendati kita masih menemukan lapangan sepak bola di
kota, kita diwajibkan membayar “upeti” pada warga atau oknum agar bisa
memakainya. Dan setelah lapangan Menteng yang begitu bersejarah bagi PERSIJA
telah tiada, kini stadion Lebak Bulus pun tengah memasuki era kepunahan dengan
meninggalkan sejuta kisah bagi persepakbolaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar