Dalam setiap
pertandingan sepak bola, terlebih bagi kita pecinta bola yang hanya bisa
menikmati pertandingannya melalui layar kaca, peran reporter sangat vital
posisinya untuk dapat merangsang emosi jiwa para penontonnya. Tanpa adanya
reporter, siaran bola dinilai janggal bagi berbagai kalangan. Sebagai olahraga
keras dan berisik, sepak bola secara alamiah memang diwajibkan menghadirkan
sosok-sosok pegantar pertandingan agar pertandingan sepak bola lebih terasa
“hidup” dan bergairah bagi para penikmatnya yang berasal dari layar kaca.
Sebelum maraknya era
digital seperti yang kita rasakan saat ini, para “penyaji” pertandingan ini
sudah lebih dulu heboh saat sepak bola hanya bisa dinikmati melalu saluran
radio saja, bapak saya pun sempat menjadi penikmat pertandingan bola melalui
siaran radio. Menurut beliau, walaupun tidak bisa melihat secara visual, tetapi
dia tetap bisa menikmati pertandingan tersebut seolah sedang berada di tribun
penonton. Jelas faktornya adalah sang reporter yang mampu merangsang dan
membuat perasaan pendengarnya bergejolak tanpa henti akibat kejadian-kejadian
diatas lapangan yang digambarkan sedemikian rupa oleh si penyiar radio
tersebut.
Di era modern seperti
ini peran komentator pun semakin penting saja dikancah sepak bola dunia, di
setiap negara, para penyaji pertandingan ini pun memiliki karakteristiknya
masing-masing dalam mengemas jalannya pertandingan. Kita tentu sangat lumrah
mendengar nama-nama seperti John Champion dan Jim Beglin yang sudah amat
terkenal baik di dunia nyata maupun maya, selain rutin menjadi pundit di ajang
liga Inggris dan liga Eropa lainnya, keduanya juga mengisi suara di ajang Pro
Evolution Soccer ( PES ) — yang merupakan permainan virtual sepak bola yang
sangat digandrungi orang-orang saat ini.
Tapi bukan merekalah
yang menjadi komentator bola terbaik sepanjang masa, setidaknya itu menurut
saya. Karena, dibelahan dunia lain pun masih sangat banyak komentator yang mampu
memandu pertandingan lebih baik lagi dari mereka berdua, tepatnya di Amerika
Latin yang baru saja menggelar ajang Copa America 2015 di Chili.
Sang komentator ajang
Conmebol ini memang dikenal memiliki ciri khasnya sendiri, yaitu meneriakkan
kata “Goooooooool” yang cukup lama ketika ada pemain yang berhasil mencetak
gol, mungkin sekitar 15 detik ia berteriak hanya untuk satu kata “gol” itu saja.
Saya tidak tahu namanya, terlebih lagi rupa-nya, tapi saya akan selalu ingat
suaranya dan gayanya ketika mendengungkan “gooool” dengan syahdu nya. Mulai
dari ajang Copa Libertadores, Copa America, hingga kejuaraan yang ada di
kawasan Amerika Selatan, selalu mempercayainya untuk memandu penikmat bola.
Jika di luar negeri
sana, mereka sebagai pemandu pertandingan bisa menerjemahkan suatu pertandingan
secara elegan, lalu, bagaimana yang terjadi dengan reporter yang ada di
Indonesia? Saya sangat yakin kalau kalian selalu mendengar kata “jegeeer”,
“jebreeeeet”, “ahayyyy”, atau mungkin yang sedang mewabah saat ini “ganteng
maksimal” dalam setiap pertandingan ISL atau timnas Indonesia bertanding!!! kata-kata itulah yang menjadi jati
diri pemandu sepak bola tanah air. Tidak ada yang salah memang dengan kata-kata
tersebut, tapi, nyamankah kita sebagai penikmat bola mendengar kata-kata itu?
Mungkin buat sebagian
orang, itu adalah bagian dari kreativitas dan ekspresi diri dari seorang
reporter pertandingan, tapi buat saya dan beberapa teman sejawat yang lain, itu
adalah hal yang menjijikkan yang bisa merusak khasanah pertandingan sepak bola.
Malah, terkadang, saya berharap dalam setiap pertandingan di Indonesia, baik
liga atau timnas, tidak terjadi gol supaya pemandu pertandingan tidak perlu
mengeluarkan “bahasa planet” tersebut.
Dalam lubuk hati
paling dalam, tentu kami ingin melihat timnas menjebol gawang lawan, tapi
sering juga terlintas dalam hati, kami tidak sudi melihat kegagahan
pemain-pemain Indonesia dengan kerja kerasnya untuk mencetak gol tercoreng
karena reporter pertandingan mengeluarkan bahasa yang teramat sangat aneh bin
ajaib itu
Yang bikin kami sakit
hati adalah kemunculan bahasa “jeger” dan “ganteng maksimal” itu tak lain dan
tak bukan dipelopori oleh sponsor yang menaungi mereka dalam menyiarkan
langsung pertandingan sepak bola. Ini sungguh sangat di sayangkan, karena
dibalik membludaknya sponsor yang ingin berpartisipasi di kancah sepak bola tanah
air, mereka juga menyimpan ambisi terselubung dengan mewajibkan reporter
pertandingan membudayakan tagline
produk mereka yang memang sangat nyeleneh itu. Sah-sah saja sebenarnya jika
mereka ingin mendapat keuntungan, tapi haruskah reporter meneriakkan tagline mereka ketika gol terjadi? Tidak
cukup kah uang yang mereka dapat melalui iklan atau bahkan catalog produknya
yang mereka pajang rapi di studio TV
tersebut?
Berbeda dengan bung
“jebret” dan bung “ahay” yang memang tidak mewakili produk manapun dalam tiap
selebrasinya. Tapi, toh tetap saja menggelikan mendengar ocehan mereka ketika
terjadinya gol. Dalam beberapa kesempatan wawancara, kedua reporter bola ini
mengaku sengaja mengeluarkan kata-kata tersebut sebagai “tanda pengenal” mereka
dikancah pertelevisian Indonesia. Tapi lagi-lagi, haruskah mereka memakai
bahasa yang entah apa arti dari kata “jebret” dan “ahay” itu???.
Dalam pertandingan
sepak bola, khususnya yang disiarkan televisi, haram hukumnya jika tidak ada
reporter yang memandu jalannya pertandingan. Seseru apapun pertandingan itu,
sekeras apapun permainan yang diperagakan kedua tim, atau bahkan seluar biasa
apapun atmosfer dalam stadion, tanpa ada
reporter pertandingan, bisa dipastikan pertandingan akan terasa hambar, tanpa
reporter pula kita tidak akan tahu informasi penting mengenai pertandingan yang
sedang berjalan, baik statistik pertandingan, data pribadi si pemain, club, dan
lainnya yang berkaitan dengan pertandingan tersebut.
Negeri kita memang
termasuk negeri yang cukup lucu dalam berbagai hal, baik itu masyarakatnya yang
memang suka bersendau gurau, pemerintahnya yang lucunya suka kebangetan dalam memimpin bangsa, atau
mungkin acara televisi yang semakin lama semakin “maksa” untuk menjadi lucu.
Kelucuan kita sebagai rakyat Indonesia pun semakin tergambar dengan munculnya
reporter-reporter bola yang seharusnya tidak perlu lucu untuk menyajikan
pertandingan, tetapi dipaksa lucu oleh perusahaan televisi terkait, atau
memaksakan lucu dengan dalih identitas diri demi panjangnya “nyawa” mereka di
dunia pertelevisian tanah air. Tidak heran nama mereka pun berubah menjadi bung Hadi “ahay’ Gunawan, Valentino
“jebret” Simanjuntak, Rendra “jeger” Sudjono. Nyatanya, memang sekarang ini
hanya orang-orang aneh lah, dan berani beda ( jika tidak mau dibilang berani
malu ) yang akan dilirik oleh pihak TV dan bisa bertahan lama di dunia
jurnalistik.
Sejatinya kita
sebagai penonton memang perlu hiburan yang mesti disajikan oleh para reporter
pertandingan, tapi, tentu bukan hiburan dalam bentuk ahay, jebret, jeger, dan terlebih ganteng maksimal yang kita kehendaki, melainkan hiburan dalam
bentuk informasi seputar pertandingan, data dan statistik pertandingan lah yang
kita butuhkan untuk dapat menyelami pertandingan sepak bola lebih dalam lagi
hingga mencapai dasar.
![]() |
Sumber gambar : startupnation.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar