Ini
adalah tulisan saya yang kesekian kalinya tentang sosok pemimpin Liverpool,
Steven Gerrard. Bukannya saya tidak bosan menulis sosok yang satu ini, tapi
harus diakui, orang ini tidak pernah bosan menimbulkan cerita-cerita baru dalam
dunia sepak bola. Tulisan ini mungkin akan sedikit berbeda dengan
tulisan-tulisan saya sebelumnya, yang bertema Gerrard tentunya.
Pemain
bernama asli Steven George Gerrard ini baru saja mengakhiri sebuah era panjang
di ranah Britania Raya, sebuah era yang tidak akan pernah dilupakan sepanjang
hidupnya. Bukan, tentu bukan era yang layak untuk di kenang bagi dirinya atau
mungkin bagi seluruh fans Liverpool di seluruh dunia. Gerrard mungkin menjadi
satu-satunya pemain hebat yang mengakhiri karirnya di club hebat Inggris, Liverpool
dengan cara yang sangat berbeda.
Ketika
temannya, Frank Lampard menyudahi masa baktinya di Inggris dengan catatan
cemerlang, dengan membawa clubnya Manchester City mantap di posisi 2 klasemen,
ditambah berhasil mencetak 1 gol penutup karirnya di Inggris, dan Didier Drogba
yang mengakhiri masa bakti keduanya di Chelsea dengan di arak seluruh pemain
Chelsea menuju ruang ganti, maka, Steven
Gerrard melakukannya dengan cara yang berbeda. Pada pertandingan minggu lalu,
Gerrard memang berhasil membobol gawang Stoke City yang di kawal oleh Asmir
Begovic, tapi torehan manis itu tidak mampu membuatnya tertawa lebih dalam,
karena di saat yang bersamaan Liverpool lenyap di Britannia Stadium dengan skor
yang sangat “mewah” bagi club sekelas Stoke City, 6-1.
Tidak ada
yang menyangka jika Liverpool akan hancur sedemikian rupa, tidak ada pula yang
mengira club sebesar Liverpool diberondong 5 gol hanya dalam waktu 30 menit di babak
pertama (ini adalah catatan terburuk Liverpool sepanjang sejarah). Entah apa
yang ada di benak sang kapten, untuk pertama dan terakhir kalinya dia melihat
clubnya hancur lebur di pertandingan penutup karirnya bersama Liverpool, sebuah
pengalaman yang sudah barang tentu tidak ingin dirasakan pemain lain.
Menginjakkan
kakinya di stadion tertua di Inggris tersebut untuk terakhir kalinya, Brendan
Rodgers selaku pelatih Liverpool, sepertinya ingin memainkan peran Gerrard
dengan cara yang berbeda, Rodgers menempatkannya sebagai pemain 10 tepat
dibelakang duo false nine Adam
Lallana dan Philipe Coutinho. Mungkin ini pula bentuk penghormatan Rodgers pada
Gerrard, yang kembali memainkan posisinya tepat di belakang striker yang pada
2008 sukses dijalankan dengan apik bersama duetnya ketika itu, Fernando Torres
dan berhasil mencetak 18 gol. Tapi tentu keadaannya sudah amat berbeda dengan
sekarang. Dan benar saja posisi baru yang sebenarnya tidak terlalu baru baginya
gagal dijalankan dengan baik di partai pamungkasnya di Premier League.
tentu
Stevie sudah membayangkan acara perpisahan yang indah bagi fans dan seluruh
tim, sudah pula dia berancang-ancang untuk memberikan jersey baru berwarna
hitam satu-satunya yang bernamakan dia untuk diberikan kepada fans sebagai
kenang-kenangan terakhir. Tapi yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan semua
orang, bahkan diluar nalar orang-orang normal ketika melihat hasil akhir yang
begitu mengerikan.
Sebelum
pertandingan pamungkas BPL minggu lalu, Gerrard juga sudah mendapat malu dari
clubnya ketika Liverpool dikalahkan Crystal Palace pada pertandingan
terakhirnya di Anfield minggu sebelumnya. Guard of Honour yang diberikan fans
dalam rupa Mosaic indah di tribun
Anfield, nyatanya tak membuat club “tergerak hatinya” untuk memberi kemenangan
terakhir sang kapten di rumahnya sendiri. Gerrard yang sebelum pertandingan
dihadiahi sampanye dari pelatih Crystal
Palace, Alan Pardew sudah menebar senyum perpisahan bagi para saksinya, dengan
diiringi ketiga putri cantiknya ketika memasuki lapangan. Pada awalnya, ia
sangat menikmati pertandingan ketika Adam Lallana beserta pemain lain memeluknya
dengan hangat sebagai tanda keunggulan Liverpool yang dicetak oleh mantan
pemain Southampton tersebut, tapi pada akhir pertandingan, justru pemain-pemain
Crystal Palace lah yang memeluk Gerrard seraya meminta maaf karena telah
mengalahkan Liverpool 3-1.
Pengabdiannya
selama 17 tahun di Liverpool yang pada perjalanannya semakin mengukuhkan
cintanya pada club (Gerrard berkali-kali ditawari pindah ke club lain) tak
membuat Liverpool membalas cintanya dalam bentuk gelar atau setidaknya deretan
pemain bintang. Tak terhitung sudah pengorbanan yang diberikan Gerrard kepada
club, tapi apa yang sudah diberikan club kepadanya di penghujung karirnya???
Mungkin Gerrard hanyalah segelintiran orang
yang betah bermain untuk Liverpool selama itu. Dia tidak pernah merisaukan
kebijakan-kebijakan club yang tak jarang merugikan tim, dia juga tidak pernah ngambek ketika club menjual
sahabat-sahabat terbaiknya, mulai dari Michael Owen, Xabi Alonso, Fernando
Torres, Daniel Agger, dan Luis Suarez. Karena dia tahu Liverpool adalah
Liverpool, club besar dengan kegemerlapan sejarah panjangnya di Inggris Raya.
Sebagai
legenda kesayangan Liverpudlian, Steven Gerrard tentu ingin merasakan apa yang
di rasakan pendahulunya, semacam Jamie Carragher dan Sammy Hyppia yang mengakhiri
karirnya di Anfield dengan mempersembahkan kemenangan bagi clubnya. Tapi
Gerrard mungkin ingin berbeda dari para pendahulunya tersebut, karena selain
hasil akhir yang berbeda, keadaannya juga berbeda. Ketika itu, Carragher dan
Hyppia tidak bermain full 90 menit
dan Liverpool meraih kemenangan. Jadi, kalau saja Gerrard tidak bermain
penuh saat melawan Stoke City, bisa jadi
Liverpool meraih kemenangan dan Gerrard pun bisa dengan damai meninggalkan
Liverpool.
Kini,
Stevie bernasib sama dengan fans Liverpool di seluruh jagat, yang dikenal selalu
mendukung club di saat menang dan juga kalah, dan tentu dikenal punya “muka
tembok” karena selalu tahan jika mendapat olokan dari fans rival. Tapi
loyalitas yang ditunjukkan Gerrard beserta fans Liverpool tidak mendapatkan
balasan yang setimpal dari pihak club dengan prestasi yang semakin menurun
setiap minggunya. Club tidak boleh hanya mengandalkan prestasi masa lampau
untuk membuat fans dan kaptennya bangga, club pun tidak bisa terus menerus
membanggakan 5 trofi Liga Champions di saat tim-tim asal Inggris lainnya hanya
mampu memperoleh 4 piala (akumulasi dari torehan Manchester United yang
berhasil meraih 3 gelar dan Chelsea mendapatkan 1 gelar), karena pada satu
titik tertentu fans dan bahkan Gerrard akan jenuh membanggakan hal-hal seperti
itu ketika club-club lain silih berganti memperkuat timnya dengan membeli
pemain-pemain berkualitas dan menjuarai liga Inggris.
Mungkin
saat ini Gerrard beserta keluarga sudah berada di LA (bukan Lenteng Agung
tentunya) dan memulai hidup barunya sebagai pesepakbola baru di negara baru
dengan meninggalkan segudang cerita di Inggris. Cerita yang akan selalu diingat
oleh dirinya pribadi dan tentu kita para penikmat sepak bola, cerita yang saya
yakini akan mengalahkan fenomena tendangan kungfu Eric Cantona ke seporter
Leicester City di Old Trafford atau mungkin perkelahian pemain Newcastle United
di tengah lapangan antara Lee Bowyer dan Kieron Dyer. Sepotong cerita dari
sebuah era yang berujung dengan kekalahan besar di akhir cerita panjang seorang
Steven George Gerrard.
Sepahit
apapun kenyataan yang diterimanya, dia tahu, bahwasannya fans tidak akan pernah
meninggalkan apalagi menghinanya, karena fans tidak akan pernah membiarkannya
berjalan sendiri, dimana pun sang kapten berada.
#ThanksStevie
#YNWA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar