Pernah
kah anda melihat atau setidaknya mendengar kampanye “Say No To Racism” dalam
setiap pertandingan sepak bola, di belahan dunia manapun pertandingan di
mainkan, FIFA selaku federasi tertinggi selalu mendengungkan kalimat tersebut.
Tujuannya jelas, untuk memerangi rasisme di dunia sepak bola. Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah rasisme benar-benar bisa hilang? Jawabannya tentu
tidak. Tapi kalau pertanyaannya apakah kampanye tersebut bisa mengurangi kasus
rasisme? Jawabannya, iya.
Menghilangkan
rasisme dari sepak bola seperti “mencari jarum dalam jerami”, hampir mustahil.
Alasan saya berani mengatakan demikian di karenakan berbeda nya budaya tiap
yang membuat karakter orang yang berbeda pula, alasan lain yang cukup masuk
akal adalah sejarah idiologi politik masa lalu setiap negara juga sangat
mempengaruhi pola fikir masyarakat setempat. Kenapa saya mengatakan idiologi
politik cukup berpengaruh? Alasannya jelas, dari sekian banyak kasus rasisme
terjadi di Spanyol dan Italia.
Lalu,
apa hubungan kedua negara ini dengan idiologi politik yang saya maksud? Jika
kita berpijak pada sejarah kedua negara tersebut tentu kita bisa mendapatkan
“benang merah nya” mengingat kedua negara ini menjadi simbol Fasisme di Eropa
Selatan.
Fasisme
adalah paham yang sangat membanggakan bangsa nya sendiri dan memandang rendah
atau cenderung tidak menganggap keberadaan bangsa lain, dengan kata lain
Fasisme dapat di artikan sebagai suatu sikap nasionalisme yang berlebihan.
Dari
pengertian Fasisme diatas kita bisa menyimpulkan alasan kenapa bangsa Spanyol
dan Italia sangat rentan dengan kasus rasisme. Berbekal sejarah masa lalu
masyarakat disana masih tabu dengan orang yang berkulit hitam dan seolah
menatap warga kulit hitam dengan pandangan sinis seolah bertanya “bagaimana ada
orang seperti ini hidup disini?”. Mungkin kita masih ingat kasus yang menimpa
Samuel Eto’o ketika masih memperkuat Barcelona, pemain berdarah Kamerun
tersebut mendapat hinaan yang tak pantas ketika tim nya menghadapi Real Zaragoza
dalam lanjutan La Liga. Selama pertandingan berjalan, setiap Eto’o menyentuh
bola fans tuan rumah “menyambutnya” dengan menirukan suara monyet, sontak
kejadian ini membuat Samuel Eto’o murka dan langsung meninggalkan lapangan
dengan segala amarah yang di simpan dalam benak nya.
![]() |
eto'o bereaksi setelah mendapat ejekan rasisme dari suporter lawan |
Atau
bagaimana terkejutnya kita ketika
pelatih karismatik Spanyol Luis Aragones menyemprot
pemain nya Jose Antonia Reyes dengan mengatakan bahwa Thierry Henry hanya
seekor kera hitam yang tak patut di tiru (ketika itu Reyes adalah teman satu
tim Henry di Arsenal). Kejadian heroik yang mendapatkan simpatik banyak orang
sempat terjadi di La Liga Spanyol ketika bek Barcelona Dani Alves di lempari
pisang ketika hendak menedang bola melalui tendangan sudut, tanpa berpikir
panjang Alves langsung mengambil pisang tersebut dan memakan nya dengan nikmat.
Kejadian ini pun secara tidak sengaja menjadi kampanye baru bagi pemain bola
untuk memerangi rasisme dan membuat aksi Alves tersebut mengilhami banyak
orang.
![]() |
Dani Alves memakan pisang yang di lempar tepat di hadapannya |
Apa
yang terjadi di Spanyol tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Italia,
negara yang dulu nya di kuasai oleh Benitto Mussolini ini memiliki kasus
Rasisme yang cukup banyak. Pada 2012 lalu ketika AC Milan melakoni laga
persahabatan melawan club semi profesional Pro Patria. Pemain andalan mereka
Kevin Prince Boateng menjadi sasaran rasisme fans tuan rumah, sepanjang
pertandingan Boateng mendapat olokan fans
lawan yang bernada rasisme, banyak dari mereka yang menirukan suara monyet atau
memperagakan gaya seekor kera. Tak tahan di hini seperti itu kesabaran nya pun
habis, di tengah-tengah pertandingan yang masih berjalan Boateng langsung
mengambil bola dan tanpa berfikir panjang langsung menendang bola ke arah
penonton, lalu dengan berpeluh keringat yang di penuhi amarah Boateng pun
langsung meninggalkan lapangan. Aksi Boateng ini mendapat pujian dari segala
lapisan pencinta bola yang menganggap sikap nya sebagai simbol perlawanan
rasisme di sepak bola.
![]() |
Boateng menendang bola ke tribun penonton yang menghina nya |
Sedikit
berbeda dengan apa yang di alami oleh Mario Balotelli ketika menyudahi
petualangannya di ranah Britania Raya. Kembali ke Italia dan memperkuat raksasa
Italia AC Milan balotelli secara otomatis menjadi Public Enemy bagi fans Inter Milan, dan benar saja ketika kedua tim
bertemu balotelli langsung di hujani cercaan
dan makian dari Interisti yang
memadati Guessepe Meazza. Chants berbau
rasisme menjadi kata yang selalu di dengarkan sepanjang laga berjalan bahkan
beberapa fans Inter membawa boneka raksasa berbentuk Pisang untuk menghina
Balotelli. Sebagai catatan Mario Balotelli adalah mantan pemain Inter Milan dan
bagian dari akademi Inter.
Tapi
apa yang terjadi di Italia dan Spanyol tidak ada apa-apa nya jika di bandingkan
dengan yang terjadi di Rusia. Kasus rasisme di negara bekas Uni Soviet ini
bahkan lebih mengerikan, setidaknya inilah yang di alami club Spartak Moscow
dan Torpedo Moscow. Kedua fans tim ini mengharamkan jika club nya menggunakan
jasa pemain berkulit hitam, jika club tidak mendengarkan “instruksi” mereka
maka mereka pun tak akan segan-segan mengancam pemain dan manajemen club,
ancaman yang mereka lontarkan pun bukan main-main karena mereka tidak akan
berfikir dua kali untuk merealisasikan ancaman tersebut. Ancaman yang mereka
keluarkan tergolong mengerikan karena mereka bisa saja menculik, menyandera
kerabat sang pemain atau bahkan membunuh mereka. Hal ini tentu sangat
berlebihan dan tidak bisa di terima dengan akal sehat.
Di
antara 5 liga top Eropa mungkin hanya Inggris dan Perancis yang benar-benar
bisa memerangi rasisme. Banyak nya orang berkulit hitam yang memang penduduk
asli Inggris dan menumpuknya imigran Afrika yang ada di Perancis bisa menjadi
alasan yang cukup logis minimnya kasus rasisme di kedua negara tersebut.
Keberagaman penduduk dalam suatu negara membuat masyarakatnya bisa lebih
menghormati dan menghargai setiap perbedaan yang ada antar penduduknya.
![]() |
para pemain makan pisang sebagai kampanye anti rasisme |
Tantangan
memerangi rasisme setiap tahun nya di prediksi akan semakin sulit karena
semakin banyak bermunculan kaum-kaum ekstrimis di belahan dunia. Di Jerman,
Inggris, dan Belanda sudah bermunculan gerakan-gerakan supporter yang berhaluan
kanan yang menyebut mereka sebagai gerakan anti-salafi dan anti-semit yang saat
tertentu bisa saja mengganggu keindahan sepak bola, yang memecah belah antar
pencinta sepak bola.
Sejatinya,
sebagai penikmat si kulit bundar kita tentu hanya ingin di hibur oleh permainan
indah setiap tim di arena rumput hijau, bagaimana setiap tim ingin merebut hati
supporter melalui permainan cantik nya dan memperkuat tim nya dengan
mendatangkan pemain-pemain berkualitas tanpa adanya trik-trik yang menjijikkan
yang tersaji di lapangan atau luar lapangan. Tidak ada kata damai untuk rasisme
begitu juga tidak ada kata berhenti untuk terus memerangi rasisme di dunia
sepak bola. #SayNoToRasicm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar