Manusia adalah tempatnya salah. Seorang teman bahkan berkata “manusia dan kesalahan adalah sebuah kelaziman yang tak bisa terpisahkan”. Ungkapan ini memang pas rasanya. Jika kita runut jauh ke belakang, sebagai anak-cucu Adam, kehadiran kita berawal dari sebuah kesalahan sang Nabi yang mencari keabadian bersama Hawa.
Manusia tempatnya salah. Untuk itu kita perlu berubah. Berubah memang sukar menjadi sebuah jaminan kita bisa terbebas dari dosa masa lalu. Tapi, sekali lagi. Apakah kita bisa seperti sekarang tanpa kesalahan yang dilakukan Adam dan Hawa?
Menjadi salah memang sudah jadi tabiat manusia. Seperti rasa sakit yang acap kali kita rasa, kesalahan pun seolah menjadi sebuah keharusan yang kita lakukan. Saat rasa sakit dihilangkan dengan obat. Maka, kesalahan harus kita lenyapkan dengan perubahan.
Sama halnya pula dengan obat yang tidak serta merta bisa menyembuhkan, berubah juga tidak bisa langsung membuat kita lebih baik, tidak juga membuat orang lain dengan mudah menerima perubahan. Masa lalu, bagi siapa saja, menjadi momok yang amat menakutkan. Ia takut di kambing hitamkan dalam setiap gerak-geriknya di masa mendatang.
“Salah” tidak cukup hanya mengenal kata maaf. Ia lebih membutuhkan kata “berubah” agar bisa dimaafkan. Sialnya, tidak semua manusia mau memaafkan kesalahan manusia lainnya. Sebesar apapun perubahan yang telah ia lakukan, kesalahannya yang lalu tak bisa lepas dari pandangan.
Masalahnya, kita sudah terlalu lama dikungkung dalam prasangka, doktrin, dan merasa paling benar. Hingga membuat kita buta akan kebenaran, tuli untuk mendengarkan, dan bisu untuk memaafkan.
Bagaimana manusia, dengan lantang menyebut manusia lainnya seperti GERWANI, misalnya. Padahal kita sendiri tak tahu apa saja yang dilakukan gerakan wanita PKI tersebut di masa lalu.
Jika mereka melebeli GERWANI sebagai kumpulan wanita biadab hanya karena doktrin film - settingan - G30SPKI, maka sudah sepantasnya mereka bersuka cita. ketika nyatanya GERWANI diburu, dibunuh, disiksa sedemikian rupa dibalik indahnya laut Bali.
Selama ini kita terkurung dalam dogma. Dogma yang merongrong negeri selama 32 tahun lamanya dan masih berbekas hingga kini. Bukan perihal keji atau tidak keji. Tapi pantaskah orang yang berbuat sesuatu karena sakit hati langsung disebut GERWANI? Jika ia, mereka pasti mengamini pembantaian, perkosaan, dan pembunuhan kaum GERWANI dulu.
Tentu kita tidak membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Tapi, lagi-lagi, setiap kekerasan, yang dilakukan setiap orang tentu muncul oleh sebab. Sementara kita, hanya meilihat akibatnya tanpa memandang sebab tiap orang melakukan hal demikian. Padahal, yang ia rasakan lebih sakit dari yang dilakukan.
Bukankah manusia setiap saat terus berubah? Dari kecil, remaja, hingga beranjak alay, sampai akhirnya menjadi dewasa adalah bagian dari proses kehidupan. Yang tadinya serba terbuka kini - hijrah - dibalut kain lembut menutupi kepala, yang tadinya penjahat berubah menjadi pemuka agama. Sekalipun, tetap ada yang baik menjadi buruk.
Negara sebesar Jerman misalnya. Yang memiliki masa lalu suram soal kekejian dan pembantaian kini berubah menjadi Negara paling toleran di dunia. Ini terlihat ketika imigran Timur Tengah mengepung Eropa mencari suaka, saat Negara Eropa daratan membatasi kuota, Jerman justru membuka pintu paling lebar bagi mereka yang mencari kehidupan.
Apa yang dilakukan Jerman bukan semata-mata untuk menghapus suramnya masa lalu mereka. Tapi lebih jauh dari itu. “mereka manusia. Sama seperti kita, mempunyai hak hidup yang sama”. Cetus Angela Merkel, Kanselir Jerman. Tidak hanya pemerintahnya, rakyat Jerman pun turut membuka tangan selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin hidup, selaiknya hidup.
Di Indonesia sendiri, kita begitu akrab dengan Munir. Aktivis kemanusiaan kelahiran Malang yang tumbuh di orde baru. Pada awal kemunculannya, beliau sempat mendukung rezim keji tersebut hingga akhirnya ia menentang keras pemerintahan Soeharto waktu itu.
Pria yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini bermanuver menyerang balik sang penguasa karena sadar akan tanggungjawabnya sebagai akademisi hukum yang selayaknya menjunjung tinggi keadilan.
Keberanian Munir membuka tabir 98 dan aktivis yang hilang membuatnya disegani oleh siapapun yang terlibat. kendati akhirnya ia dipaksa menyerah setelah di racun di udara. Sekaligus membuat namanya abadi di dunia.
Tidak semua manusia bisa menerima perubahan manusia lainnya menjadi lebih baik. Mereka ingin orang lain tetap lah menjadi buruk agar tetap ada kambing hitam dibalik segala kekurangannya. Seperti yang diungkapkan Nietzsche dalam karya nya bertajuk “Human, All Too Human”
“manusia mempunyai hasrat untuk mencari kambing hitam. Mereka mencari seseorang yang bisa dianggap rendah dan karenanya juga memiliki kekuasaan atas mereka”
Semuanya, di dunia ini pasti akan berubah. Ada yang baik, walau tidak jarang juga menjadi buruk, dalam bentuk apapun. Kecuali, sekali lagi. Mba Puan Maharani.
Manusia tempatnya salah. Untuk itu kita perlu berubah. Berubah memang sukar menjadi sebuah jaminan kita bisa terbebas dari dosa masa lalu. Tapi, sekali lagi. Apakah kita bisa seperti sekarang tanpa kesalahan yang dilakukan Adam dan Hawa?
Menjadi salah memang sudah jadi tabiat manusia. Seperti rasa sakit yang acap kali kita rasa, kesalahan pun seolah menjadi sebuah keharusan yang kita lakukan. Saat rasa sakit dihilangkan dengan obat. Maka, kesalahan harus kita lenyapkan dengan perubahan.
Sama halnya pula dengan obat yang tidak serta merta bisa menyembuhkan, berubah juga tidak bisa langsung membuat kita lebih baik, tidak juga membuat orang lain dengan mudah menerima perubahan. Masa lalu, bagi siapa saja, menjadi momok yang amat menakutkan. Ia takut di kambing hitamkan dalam setiap gerak-geriknya di masa mendatang.
“Salah” tidak cukup hanya mengenal kata maaf. Ia lebih membutuhkan kata “berubah” agar bisa dimaafkan. Sialnya, tidak semua manusia mau memaafkan kesalahan manusia lainnya. Sebesar apapun perubahan yang telah ia lakukan, kesalahannya yang lalu tak bisa lepas dari pandangan.
Masalahnya, kita sudah terlalu lama dikungkung dalam prasangka, doktrin, dan merasa paling benar. Hingga membuat kita buta akan kebenaran, tuli untuk mendengarkan, dan bisu untuk memaafkan.
Bagaimana manusia, dengan lantang menyebut manusia lainnya seperti GERWANI, misalnya. Padahal kita sendiri tak tahu apa saja yang dilakukan gerakan wanita PKI tersebut di masa lalu.
Jika mereka melebeli GERWANI sebagai kumpulan wanita biadab hanya karena doktrin film - settingan - G30SPKI, maka sudah sepantasnya mereka bersuka cita. ketika nyatanya GERWANI diburu, dibunuh, disiksa sedemikian rupa dibalik indahnya laut Bali.
Selama ini kita terkurung dalam dogma. Dogma yang merongrong negeri selama 32 tahun lamanya dan masih berbekas hingga kini. Bukan perihal keji atau tidak keji. Tapi pantaskah orang yang berbuat sesuatu karena sakit hati langsung disebut GERWANI? Jika ia, mereka pasti mengamini pembantaian, perkosaan, dan pembunuhan kaum GERWANI dulu.
Tentu kita tidak membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Tapi, lagi-lagi, setiap kekerasan, yang dilakukan setiap orang tentu muncul oleh sebab. Sementara kita, hanya meilihat akibatnya tanpa memandang sebab tiap orang melakukan hal demikian. Padahal, yang ia rasakan lebih sakit dari yang dilakukan.
Bukankah manusia setiap saat terus berubah? Dari kecil, remaja, hingga beranjak alay, sampai akhirnya menjadi dewasa adalah bagian dari proses kehidupan. Yang tadinya serba terbuka kini - hijrah - dibalut kain lembut menutupi kepala, yang tadinya penjahat berubah menjadi pemuka agama. Sekalipun, tetap ada yang baik menjadi buruk.
Negara sebesar Jerman misalnya. Yang memiliki masa lalu suram soal kekejian dan pembantaian kini berubah menjadi Negara paling toleran di dunia. Ini terlihat ketika imigran Timur Tengah mengepung Eropa mencari suaka, saat Negara Eropa daratan membatasi kuota, Jerman justru membuka pintu paling lebar bagi mereka yang mencari kehidupan.
Apa yang dilakukan Jerman bukan semata-mata untuk menghapus suramnya masa lalu mereka. Tapi lebih jauh dari itu. “mereka manusia. Sama seperti kita, mempunyai hak hidup yang sama”. Cetus Angela Merkel, Kanselir Jerman. Tidak hanya pemerintahnya, rakyat Jerman pun turut membuka tangan selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin hidup, selaiknya hidup.
Di Indonesia sendiri, kita begitu akrab dengan Munir. Aktivis kemanusiaan kelahiran Malang yang tumbuh di orde baru. Pada awal kemunculannya, beliau sempat mendukung rezim keji tersebut hingga akhirnya ia menentang keras pemerintahan Soeharto waktu itu.
Pria yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini bermanuver menyerang balik sang penguasa karena sadar akan tanggungjawabnya sebagai akademisi hukum yang selayaknya menjunjung tinggi keadilan.
Keberanian Munir membuka tabir 98 dan aktivis yang hilang membuatnya disegani oleh siapapun yang terlibat. kendati akhirnya ia dipaksa menyerah setelah di racun di udara. Sekaligus membuat namanya abadi di dunia.
Tidak semua manusia bisa menerima perubahan manusia lainnya menjadi lebih baik. Mereka ingin orang lain tetap lah menjadi buruk agar tetap ada kambing hitam dibalik segala kekurangannya. Seperti yang diungkapkan Nietzsche dalam karya nya bertajuk “Human, All Too Human”
“manusia mempunyai hasrat untuk mencari kambing hitam. Mereka mencari seseorang yang bisa dianggap rendah dan karenanya juga memiliki kekuasaan atas mereka”
Semuanya, di dunia ini pasti akan berubah. Ada yang baik, walau tidak jarang juga menjadi buruk, dalam bentuk apapun. Kecuali, sekali lagi. Mba Puan Maharani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar