Minggu ini, Italia akan diguncang oleh perseteruan ibukota, yang akan menyajikan
pertandingan akbar antara Lazio vs AS Roma pada pukul 21:00 WIB. Dari sekian
banyak laga derby di Italia, bisa dikatakan bahwa derby ibukota, atau dalam
bahasa Italia nya di sebut derby Della Capitale
ini menjadi derby paling mematikan di negeri pizza.
Menghuni
kota yang sama, dan stadion yang sama pula, tak membuat kedua kubu seirama.
Justru mereka saling berseberangan dalam banyak hal, mulai dari warna baju
kebanggaan, latar belakang seporter, hingga pengaruh ideologi club yang telah
mengakar.
Jika
dilihat dari warna kebesarannya, dua club ibukota ini tentu sangat bertolak
belakang, Lazio yang lebih dulu berdiri pada 1900 menjadikan biru muda sebagai
warna kebanggaan, sedangkan AS Roma yang berdiri 27 tahun kemudian menggunakan
warna khas kota, yakni Merah.
Perbedaan
warna yang paling mencolok ini pun tak ayal memercikkan api pertengkaran antar
keduanya. Fans AS Roma menuding bahwa Lazio tidak pantas mewakili kota, karena
mereka sama sekali tidak mencerminkan Roma sebagai ibukota negara. Selain itu,
Lazio nyatanya memang tidak benar-benar berada di kota Roma, karena “base camp” mereka pun berada sedikit
diluar utara kota Roma. Para laziale pun lebih banyak tersebar di perbatasan
ibukota ketimbang di tengah kota yang dikuasai oleh Romanisti.
Tak
terima dianggap bukan penduduk ibukota, fans Lazio pun menyerang balik “kolega”
nya tersebut dengan mengatakan bahwa mereka lah yang lebih pantas menghuni Roma,
karena Lazio lah yang lebih dulu ada dan menjadi kebanggaan kota. Selain itu,
bagi Laziale sendiri, club terkuat di kota Roma adalah Lazio, bukan AS Roma.
Mungkin benar adanya jika mereka menganggap seperti itu, mengingat AS Roma
terbentuk dari penggabungan tiga club, yaitu Roman FC, SS Alba-Audace, dan
Fortitudo-Pro Roma SGS. Berbeda dengan Lazio yang memang berdiri sendiri.
Sama
halnya dengan warna kebesaran, AS Roma dan Lazio pun dipisahkan oleh latar
belakang seporter mereka yang saling bertolak belakang. Meski menguasai kota, nyatanya
Romanisti kebanyakan berasal dari
kaum proletar, atau kelas pekerja
seperti buruh dan petani. Sedangkan Laziale
dihuni oleh para kaum borjuis yang
berasal dari bangsawan ibukota, pengusaha, hingga bankir-bankir sukses Roma.
Laiknya
proletar dan borjuis, AS Roma dan SS Lazio pun dipisahkan antara ideologi
politiknya masing-masing. Sebagaimana orang-orang borjuis, Lazio menjadi club
sayap kanan Italia, bahkan hingga kini, para pendukungnya tetap menjunjung
tinggi hal itu dan dengan bangga mengatakan diri mereka sebagai
ultra-nasionalisme.
Ini
pula yang menjadi cerminan bagaimana Lazio memiliki kedekatan yang tak biasa
dengan pemimpin fasism Italia saat itu, Benitto Mussolini. Mussolini pun dengan
gamblang mengakui kedekatannya dengan club berjuluk Biancocelecte tersebut.
Memiliki kedekatan dengan pemimpin sadis macam Mussolini, Laziale tampaknya tak mau ambil pusing dengan hal tersebut, mereka
pun dengan bangga mengangkat pemimpin Italia tersebut sebagai bapa mereka.
Jadi, jangan heran jika kita sering melihat banner
besar bergambar Mussolini dalam setiap pertandingan Lazio.
Berbeda
180 derajat dengan Lazio, AS Roma merupakan club kiri Italia bagian utara, dan
menjadikan kaum buruh dan petani sebagai basis pendukung mereka. Kenyataan ini
semakin memperuncing perseteruan antar kedua belah pihak, ditambah lagi dengan
kebencian fans Roma pada Mussolini atas kediktaktoran nya terhadap kaum buruh
yang semakin memperluas jarak perbedaan mereka.
Beberapa
perbedaan mencolok ini jelas membuat kita memaklumi permusuhan mereka, dan
memahami kemustahilan persatuan kedua
fans. Satu-satunya persamaan yang pernah terjadi antar keduanya adalah ketika
salah seorang pendukung Lazio, Gabrielle Sandri meregang nyawa saat kedua fans
bentrok pada 2007 lalu. Sandri sendiri tewas ketika ditengah-tengah
perkelahian, ia terkena timah panas polisi anti huru hara yang nyasar
ketubuhnya.
Untuk
menghormati Sandri, sepak bola Italia berkabung, silent of minute pun diheningkan di seantero Italia, tak terkecuali
Romanisti yang memberi penghormatan
terakhir padanya dengan memberikan penghargaan kepada perwakilan Laziale
lainnya.
Selebihnya,
tidak ada yang mampu menyatukan kedua fans ini. tiap tahunnnya, dua kali dalam
semusim, ibukota terbelah menjadi dua warna, dewan kota pun menaikkan status
keamanan menjadi siaga 1 ( piala presiden kali ah ) tiap kedua club bertemu,
jumlah polisi pun dinaikkan berkali-kali lipat di sepanjang ibukota untuk
menghindari bentrok kedua tifosi.
seakan mengambarkan bagaimana air ( jersey Lazio ) dan api ( jersey Roma ) tak
pernah bisa menyatu dalam segala hal, termasuk sepak bola.
Kebencian
keduanya pun telah merasuki nilai-nilai sportifitas sepak bola itu sendiri. Ya,
pada 2011 lalu ( koreksi jika saya salah ), tifosi Lazio berbondong-bondong
mendukung Inter Milan untuk mengalahkan AS Roma yang sedang berburu scudetto. parahnya lagi, Laziale pun
memerintahkan club kesayangannya untuk mengalah saat berhadapan dengan Inter
atau dengan club lainnya yang sedang bersaing dengan AS Roma di clasifica.
Hanya
satu alasan mereka, yakni untuk mengahalangi saudara muda mengangkat piala.
Ironis memang, karena disaat yang bersamaan, club pujaannya sedang terjerembab
dijurang degradasi. Parahnya lagi, fans Lazio menyadari itu dan tidak
mempermasalahkan jika clubnya harus turun tahta ke Serie B. “kami lebih senang
jika Lazio turun kasta, ketimbang harus melihat AS Roma angkat piala”. Pungkas
pentolan Laziale ketika itu.
Beruntung,
karena pada akhirnya Lazio tidak degradasi, pun dengan AS Roma yang urung
meraih scudetto nya. Akhir bahagia
memang bagi kedua seporter ketika itu, tapi itu tentu tidak cukup mengakhiri
pertentangan mereka yang terus terjadi tiap tahunnya.
Beberapa
tahun belakangan, AS Roma memang lebih superior ketimbang Lazio, baik dikancah
domsetik maupun Eropa. Ketika AS Roma konsisten dipapan atas, Lazio masih harus
bolak-balik dipapan tengah dan atas. Musim lalu,bisa dikatakan sebagai musim
terbaik Lazio selama lima tahun terakhir karena berhasil bertengger di
peringkat 3 klasemen, tepat dibawah AS Roma.
Tapi,
kegagalan mereka dibabak kualifikasi liga Champions seolah kembali menyadarkan
mereka bahwa saat ini auman sang elang tidak lebih nyaring ketimbang serigala
ibukota. Di liga Italia musim ini saja, AS Roma masih nyaman bertengger di
posisi ketiga, sedangkan Lazio masih berada di peringkat ke tujuh.
Tentu
fakta ini tidak menjadi penghalang panasnya laga nanti. Karena rival
abadi memang tidak pernah mati. Mari kita tunggu apakah gaya selfie Fransesco Totti akan kembali
menjadi trending topic, atau salam
NAZI ala Paolo Di Canio yang akan muncul menjadi buah bibir dunia? Will see
Tidak ada komentar:
Posting Komentar