Sebagai permainan yang keras, sepak bola tentu tak bisa terhindar dari
aksi-aksi keras pula yang berujung pada permainan kasar dari setiap
permainannya.Saling berebut bola dengan dorongan, tekel-tekel keras ditambah
sedikit aksi jail para pelakunya tentu tak bisa terelakkan dari
pandangan.Cukup lumrah rasanya kita melihat para pemain belakang atau para
gelandang mencuri bola dari lawannya dengan cara-cara seperti itu, dan tentu
saja hal itu memang dibutuhkan,tanpa menciderai lawan tentunya.
Kita pasti hafal dengan nama-nama seperti Roy Keane atau Paul Scholes
yang setia “merontokkan” kaki lawan-lawannya hingga beterbangan di udara, atau
Gennaro Gattuso dan Marco Materrazzi yang tanpa ampun menyeruduk lawannya untuk
mengamankan gawang club yang mereka bela, dan tentu masih banyak lagi
pemain-pemain dengan tipe yang sama seperti itu.
Pada dasarnya, sepak bola adalah permainan yang sangat indah untuk
ditonton dan dinikmati, dengan segala keindahannya, sepak bola sudah menjadi
candu bagi para penikmatnya. Bagaimana Diego Maradona memberi sentuhan indah
tiada tara ketika dia “membodohi” seluruh pemain Inggris dari tengah lapangan
pada piala dunia 1986, atau bagaimana bocah belia berusia 16 tahun bernama
Edson Arantes do Nascimento, atau beken dengan sebutan Pele menjadi
penentu kemenangan Brazil pada final piala dunia 1958 adalah salah satu bukti
sahih bagaimana keindahan alami yang ditawarkan permainan bernama sepak bola.
Kita semua dibuat terbuai dengan keindahan-keindahan yang telah mereka ciptakan
dalam dunia sepak bola.
Akan tetapi, seindah apapun permainan sepak bola, ia tentu tak bisa
melepaskan kekerasan dalam jati dirinya, dan memang harus kita akui, mungkin
hanya sepak bola lah yang bisa mempadu padankan antara keindahan dan kekerasan
menjadi satu kesatuan yang amat nikmat untuk disaksikan – tentu bukan permainan
keras yang menjurus kasar maksudnya. Kita tentu tak perlu meragukan akan
keindahan permainan sepak bola sebagaimana yang selama ini ditunjukkan oleh
Lionel Messi dan keloga dalam wujud tiki-taka ala Barcelona yang tengah menjadi
magnet utama dari keindahan itu sendiri, pun begitu dengan keindahan
yang ditawarkan oleh pendukung sepak bola yang saban hari memenuhi bangku
stadion untuk melihat persatuan antara keindahan dan kekerasan dalam setiap
permainan yang mereka tonton. Sama halnya dengan para pemain, pendukung sepak
bola juga menawarkan keindahan yang acap kali ditunjukkan di stadion, dan tentu,
keindahan itu juga berbalut indah dengan kekerasan yang terkandung didalamnya.
Fans Barcelona tentu sangat hafal bagaimana megahnya stadion Nou Camp
denganmozaik indah yang disuguhkan tiap club kesayangan berlaga, atau
bagaimana seisi Nou Camp dengan sangat keras mengkritik Real Madrid dengan
kerajaan spanyolnya, atau bahkan, bagaimana dengan “tega”nya pendukung mereka
membuang kepala babi tepat dihadapan Luis Figo yang saat itu berbelok arah ke
club ibukota Spanyol tersebut.
Keindahan dan kekerasan dalam sepak bola nyatanya tak hanya terjadi
didalam lapangan permainan, melainkan terjadi pula di pinggir lapangan
yang melibatkan penontonnya, malah bisa
dikatakan mereka mempertontonkan keindahan yang lebih dari apa yang mereka
tonton, dan tentu masih dengan kekerasan ala penonton yang mereka tawarkan.
Berbicara keindahan dan kekerasan dalam sepak bola, rasa-rasanya tidak
elok jika kita melupakan Negara Turki, Liga Turki memang kalah jauh jika
dibandingkan liga-liga lainnya di Eropa, tapi jika berbicara fans, mereka wajib
diperhitungkan, setidaknya bagi fans Galatasaray dan Fenerbahce. Dua club yang
berpredikat sebagai kiblat sepak bola Turki ini bagaikan kisah animasi Tom
and Jerry yang sukar untuk berdamai, sudah tak terhitung kerusuhan yang
terjadi akibat kedua pendukung ini, tapi dibalik kekerasan yang – rasa-rasanya
wajar mereka lakukan, selalu ada keindahan yang mereka tunjukkan pada dunia.
Mari kita tanyakan kepada skuat Manchester United atau club manapun
yang sempat bertandang ke Negara lintas benua tersebut. Mereka dibuat tak mampu
mendengar satu kata pun saat berbicara di stadion, hal ini diakibatkan karena
terlalu berisiknya suasana stadion ketika pertandingan berlangsung, dengan kata
lain, keriuhan stadion Galatasaray atau Fenerbahce melebihi kecepatan suara jet
tempur F16, keindahan yang amat mengesankan bukan?. Sekeras-kerasnya mereka
mendukung tim andalan, seindah-indahnya mereka melakukan koreo di stadion,
tetap saja mereka hanya manusia biasa yang memiliki sisi kebaikan dalam
dirinya. Hal ini bisa terlihat ketika kedua pendukung yang saling bertolak
belakang ini bersatu padu membantu korban bencana alam, dan beberapa aksi
solidaritas lainnya, bahkan tanpa ragu mereka menyatu melawan pemerintah yang
tidak pro kepada rakyat kecil.
Sepak bola Inggris yang sejak awal kita kenal dengan istilah Kick and
Rush tentu tak terlalu enak untuk dinikmati karena hanya mempertunjukkan
tekel-tekel keras dan umpan langsung kedepan gawang, tapi tak jarang dari
permainan seperti itulah muncul gol-gol indah dari tengah lapangan yang kerap
disuguhkan oleh David Beckham, Steven Gerrard dan lainnya. Atau,
bagaimana Lionel Messi hanya bermain seorang diri di Liga Spanyol tanpa
kehadiran Cristiano Ronaldo di kubu seberang, Real Madrid, tentulah dia akan
menjadi penguasa tunggal di Spanyol. Sehingga kehadiran Ronaldo di ibukota
Spanyol pun menawarkan keindahan lainnya dalam sepak bola, yaitu persaingan
untuk menjadi yang terbaik karena mereka akan selalu menawarkan
keindahan-keindahan lainnya dengan talenta yang mereka punya. Bahkan keindahan
permainan Messi dan Ronaldo pun tak akan berarti apa-apa jika mereka tidak menghadapi
bek-bek tangguh seperti Sergio Ramos, Javier Mascherano, atau Diego Godin yang
tak sungkan menghentikan permainan indah mereka dengan cara yang cukup keras.
Tak cukup rasanya jika kita tidak menyinggung keindahan dan kekerasan sepak
bola dari Eropa Timur. Sebagai wilayah yang dulunya memiliki sejarah amat
panjang terhadap perang dunia, Negara-negara pecahan Uni Soviet ini tentu
memiliki tingkatan tersendiri dalam memberikan keindahan yang disertai
kekerasan dan tentu berbeda dari fans sepak bola lainnya. Sebut saja Georgia,
Negara yang juga berdekatan dengan Turki ini memang tidak bisa berbicara lebih
banyak dalam dunia sepak bola, baik club ataupun tim nasionalnya, tapi jangan
ragukan keindahan yang ada di Negara yang baru menyelenggarakan Piala Super
Eropa ini. Pada 2012 lalu, kesebelasan asal Georgia, Zestafoni bersua Club
Brugge dalam play off liga Europa. Club yang bermarkas di stadion Boris
Paichadze Dinamo Arena ini tak hanya didukung oleh fans club nya sendiri,
melainkan juga mendapat support dari fans rivalnya, Dinamo Tbilisi. Mereka
bukannya tak mengenal loyalitas, tapi disaat yang bersamaan, Dinamo Tbilisi
sedang bertandang ke AEK Athens, Yunani, sehingga mereka mempunyai waktu luang
untuk mendukung club lain dari negaranya. Lalu, pekan depannya, ketika Dinamo
berganti menjamu AEK Athens di Tbilisi, stadion pun dipenuhi oleh supporter
Zestafoni seolah ingin berbalas budi kepada Fans Dinamo. Uniknya, di liga
domestiknya sendiri, kedua club ini merupakan rival utama dalam perebutan gelar
tiap tahunnya, dan mereka juga dikenal memiliki Ultras yang saling benci satu
sama lain.
Jauh sebelum sepak bola modern bergulir, tepatnya di era perang dunia
dua, tokoh revolusioner dunia, Che Guevara sudah lebih dulu memulai kegetiran
perihal sepak bola dalam dirinya sebagai pejuang kemerdekaan Amerika Latin.
Che, yang saat itu tengah berada di Peru, tergetar hatinya saat melihat tempat
pengasingan para penderita lepra. Disana, dia bukan hanya merayakan ulang
tahunnya yang ke-24, tapi juga bermain sepak bola, ya, selama perjalanan
panjang dengan segala kekerasan yang telah ia lihat, Che menemukan keindahan
lain dalam sepak bola. Dimana pun dia singgah, sepak bola selalu menjadi cara
terbaiknya untuk berkomunikasi paling efektif. Di banyak tempat, Che bahkan
menyempatkan diri bermain bola dengan rakyat setempat, dari semua itu, dia
mampu mengunduh makna terdama solidaritas umat manusia. Dari pengalamannya
tersebut, ia menulis: “Bentuk tertinggi dari solidaritas dan loyalitas
kemanusiaan muncul di antara orang-orang yang kesepian dan putus asa.”
Atas kebesaran sepak bola lah, kekerasan dan keindahan menyatu dalam
romansa cinta yang tak terkira harganya.
Kekerasan dan keindahan, rasa-rasanya hanya sepak bola yang mampu
menyatukan dua kata yang sebenarnya mustahil untuk disatukan dalam banyak hal.Nyatanya,
keindahan dan kekerasan pun saling mengisi kebutuhannya masing-masing dalam
sepak bola, melebihi dari apapun. Jika sepak bola layaknya secangkir kopi, maka
keindahan yang terkandung didalamnya merupakan bubuk kopi hitam pekat dengan
keharuman baunya, sedangkan kekerasan dijadikan butiran gula sebagai pemanisnya
yang kemudian diolah sedemikian rupa agar menghasilkan rasa manisyang lembut dengan
bau semerbak yang terhirup indra perasa, sehinggaakan terasa nikmat untuk dikonsumsi
oleh para pencintanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar